TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo yakin perbaikan ekonomi domestik terus berlanjut dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal kedua tahun ini sebesar 5,44 persen (yoy), jauh lebih tinggi dari prakiraan dan capaian triwulan sebelumnya sebesar 5,01 persen (yoy).
"Tingginya pertumbuhan ekonomi didorong oleh peningkatan permintaan domestik, terutama konsumsi rumah tangga, serta tetap tingginya kinerja ekspor," kata Perry dalam konferensi pers virtual pada Selasa, 23 Agustus 2022.
Adapun perbaikan ekonomi nasional tercermin pada peningkatan pertumbuhan mayoritas lapangan usaha, terutama Industri Pengolahan, Transportasi dan Pergudangan, serta Perdagangan Besar dan Eceran. Secara spasial, perbaikan ekonomi ditopang oleh seluruh wilayah, terutama di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua).
Di masa mendatang Perry memperkirakan pertumbuhan ekonomi bakal tetap tinggi. Dari berbagai indikator dini pada Juli 2022 dan hasil survei Bank Indonesia terakhir didapat hasil bahwa keyakinan konsumen, penjualan eceran, dan Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur terus membaik.
Sedangkan dari sisi eksternal, kinerja ekspor hingga bulan Juli 2022 tetap positif di tengah melambatnya perekonomian global. "Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi 2022 diperkirakan bisa ke atas dalam kisaran proyeksi Bank Indonesia pada 4,5 persen - 5,3 persen," ujarnya.
Ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5,5 persen pada kuartal ketiga tahun ini. "Pertumbuhan ekonomi kita tinggi 5,44 persen di kuartal II/2022 dan kami perkirakan 5,5 persen di kuartal III/2022 ini," ujar Perry.
Adapun bila dibandingkan dengan negara-negara lain, kata Perry, inflasi Indonesia cenderung lebih rendah. Hal ini karena adanya kebijakan subsidi yang ditempuh pemerintah sesuai kemampuan dari fiskal pemerintah serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi yakni 5,44 persen di kuartal II tahun 2022.
Pemulihan ekonomi Indonesia, kata Perry, juga terjadi di tengah perekonomian global yang berisiko tumbuh lebih rendah dari prakiraan sebelumnya. Selain itu perbaikan ekonomi terjadi seiring dengan peningkatan risiko stagflasi dan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan.
Perry memaparkan bahwa pertumbuhan ekonomi berbagai negara, seperti Amerika Serikat dan Cina, berisiko lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Hal ini disertai dengan meningkatnya risiko stagflasi di berbagai negara dan bahkan resesi di sejumlah negara maju sebagai dampak dari pengetatan kebijakan moneter yang agresif.
Sejumlah indikator dini Juli 2022 juga telah mengindikasikan berlangsungnya perlambatan konsumsi dan kinerja manufaktur di AS, Eropa, dan Cina. Sementara itu, tekanan inflasi global masih tinggi seiring dengan ketegangan geopolitik dan kebijakan proteksionisme yang masih berlangsung, serta perbaikan gangguan rantai pasokan yang masih terbatas.
Sedangkan volume perdagangan dunia juga diprakirakan lebih rendah dari prakiraan seiring dengan perlambatan ekonomi global.
Sejalan dengan perkembangan tersebut, ketidakpastian pasar keuangan global tetap tinggi, di tengah masih berlanjutnya pengetatan kebijakan moneter di berbagai negara, termasuk AS meskipun tidak seagresif dari prakiraan awal. Hal ini mengakibatkan masih terbatasnya aliran modal asing dan menekan nilai tukar di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
HENDARTYO HANGGI | BISNIS
Baca: Bunga Acuan Naik jadi 3,75 Persen, Gubernur BI: Ada Risiko Stagflasi dan Resesi di Sejumlah Negara
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.