TEMPO.CO, Jakarta - Staf khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo, menanggapi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK terhadap lonjakan utang pemerintah.
Ia menilai kenaikan utang pemerintah sebagai hal yang wajar karena digunakan secara produktif dan disertai dengan penguatan tata kelola. Lonjakan utang pada tahun 2020 juga dibutuhkan untuk membiayai upaya penanganan pandemi Covid-19.
Prastowo menjelaskan bahwa pandemi Covid-19 memukul perekonomian dengan keras dan mengakibatkan penghasilan masyarakat dan penerimaan negara turun. Meski begitu, kebutuhan belanja meningkat, seperti untuk biaya perawatan pasien Covid-19, vaksinasi, dan bantuan sosial.
Hal tersebut yang kemudian membuat pemerintah harus melebarkan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan menambah utang. Pada tahun 2020, outstanding utang terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 39,4 persen dan naik menjadi 40,8 persen Juli 2021.
"Betul bahwa utang meningkat, terutama dua tahun terakhir. Namun, selama enam tahun terakhir praktis kita bisa mengejar berbagai hal positif. Alokasi (belanja) untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan perlindungan sosial itu naik signifikan," ujar Prastowo, Kamis, 9 Desember 2021.
Kenaikan nilai utang itu, menurut Prastowo, juga diiringi dengan upaya menjaga tata kelola (governance) keuangan negara. Hal tersebut menjadi penting karena penambahan utang bertujuan untuk kepentingan produktif.
Lebih jauh, Prastowo menilai masyarakat perlu melihat utang sebagai salah satu instrumen untuk meningkatkan kemampuan dan produktivitas. Diskursus tentang utang sebaiknya bukan soal boleh atau tidak, tetapi bagaimana penggunaan utang itu secara produktif.
"Utang tidak jahat kepada dirinya sendiri. Seperti saya mengambil KPR, KKB, dan lainnya. Kalau tidak itu (mengambil utang), tidak bisa punya rumah dan kendaraan. Namun, bagaimana kita tetap bekerja keras memastikan bisa membayar, bisa lebih baik lagi karena memiliki modal awal yang baik (dari utang)," ujar Prastowo.