TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Pieter Abdullah Redjadalam memperkirakan inflasi bulan Oktober akan mencapai 0,15 persen hingga 0,2 persen. Angka ini, kata Pieter, meningkat sedikit dibandingkan bulan sebelumnya.
Baca: Setelah 2 Bulan Deflasi, BI Prediksi Inflasi Oktober 3,05 Persen
"Faktor pendorongnya terutama volatile foods yg saya kira akan mulai meningkat setelah mengalami deflasi pada dua bulan sebelumnya," kata Pieter ketika dihubungi Tempo, Kamis, 1 November 2018.
Menurut data Badan Pusat Statistik, pada September 2018 mengalami deflasi sebesar 0,18 persen. Dengan terjadinya deflasi ini tercatat Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 134,07 pada Agustus 2018 menjadi 133,83 persen pada September 2018.
Dengan kondisi deflasi, menyebabkan inflasi tahun kalender atau year to date tercatat 1,94 persen, sementara inflasi dari tahun ke tahun atau year on year 2,88 persen. Adapun pada Agustus 2018 kemarin, BPS juga mencatat terjadi deflasi sebesar 0,05 persen.
Pieter melanjutkan, faktor administered priced bagi inflasi tidak banyak berubah. Sebab, pemerintah telah membatalkan kenaikan harga bahan bakar minyak, premium dan pertalite.
Selain itu, menurut Pieter, kenaikan harga bahan bakar minyak jenis pertamax juga tidak cukup berdampak pada inflasi. "Faktor lain yg juga berpotensi sedikit meningkat adalah inflasi inti yang dipicu oleh depresiasi rupiah," kata Pieter.
Baca: BI: Pertamax Naik, Inflasi Pekan Ketiga Oktober 0,12 Persen
Dengan kondisi tersebut, Pieter menuturkan, sampai dengan Oktober 2018 inflasi masih di bawah 3 persen. Sehingga secara keseluruhan tahun 2018 ia memperkirakan inflasi akan berada di kisaran 3,1 persen sampai 3,2 persen.