TEMPO.CO, Jakarta - Inflasi di Turki kembali naik, kali ini bahkan melonjak hampir mencapai 25 persen pada September 2018 lalu. Level inflasi tersebut tercatat tertinggi dalam satu setengah dekade.
Baca: Krisis Turki, Hubungan Dagang Turki dan Indonesia Terimbas?
Hal ini menggarisbawahi dampak mendalam dari krisis mata uang pada konsumen dan ekonomi yang lebih luas. Berdasarkan data yang ditunjukkan Turkish Statistical Institute hari ini, Rabu, 3 Oktober 2018, inflasi tercatat mencapai 24,52 persen pada September dari tahun sebelumnya.
Adapun dari bulan sebelumnya, inflasi naik 6,3 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dari prediksi kenaikan rata-rata sebesar 3,6 persen dalam jajak pendapat Reuters. Sementara itu, harga makanan dan minuman non-alkohol, kunci terhadap inflasi harga konsumen, naik 6,4 persen month-on-month.
Data yang sama menunjukkan, perabotan dan perlengkapan rumah tangga membukukan kenaikan bulanan tertinggi yakni 11,41 persen, disusul oleh transportasi yang mencapai 9,15 persen. Di sisi lain, harga produsen naik 10,88 persen month-on-month pada bulan September untuk kenaikan tahunan sebesar 46,15 persen.
Menyusul laporan tersebut, nilai tukar Lira terpantau lanjut melorot 0,77 persen ke level 6,0313 terhadap dolar AS pada pukul 15.12 WIB berdasarkan data Bloomberg, setelah berakhir melemah 0,76 persen di posisi 5,9851 pada Selasa kemarin, 2 Oktober 2018.
Setelah inflasi tercatat naik 17,9 persen year-on-year pada bulan Agustus, Bank Sentral Turki mengisyaratkan akan mengambil tindakan atas risiko signifikan terhadap stabilitas harga.
Pihak otoritas moneter tersebut kemudian menaikkan suku bunga acuannya sebesar 625 basis poin pada 13 September 2018. Hal itu merupakan kenaikan suku bunga terbesar dalam masa pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan selama 15 tahun. Langkah ini memberi sedikit dukungan kepada nilai tukar Lira yang sebelumnya tertekan.
Baca: Indef Sebut 'Kesamaan' Kondisi Ekonomi Turki dengan Indonesia
Lira Turki telah turun sekitar 40 persen sepanjang tahun ini, terbebani kekhawatiran tentang kontrol Presiden Erdogan seputar kebijakan moneter serta keretakan diplomatik dengan pemerintah Amerika Serikat (AS). Aksi jual tersebut telah mendorong harga mulai dari makanan hingga bahan bakar sekaligus mengikis kepercayaan investor terhadap pasar negara tersebut.
BISNIS