TEMPO.CO, Jakarta - Hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menunjukkan bahwa melemahnya nilai tukar rupiah ke kisaran Rp 14.600 per dolar Amerika Serikat didorong oleh faktor-faktor eksternal.
Baca juga: Rupiah Jeblok, Luhut: RI Lebih Baik Ketimbang 3 Negara Ini
"Terutama akibat tekanan terhadap Lira Turki yang menyebar ke seluruh negara berkembang," dikutip dari hasil analisis makroekonomi LPEM FEB UI, Selasa, 14 Agustus 2018. Pada Jumat, 10 Agustus 2018, nilai tukar Lira terhadap dolar AS turun sebanyak 20 persen. Padahal, sepanjang tahun lalu, nilai mata uang tersebut sudah melorot lebih dari 40 persen.
Krisis di Turki itu juga menyeret nilai tukar rupiah terus meloyo pada pekan ini. Hari ini, kurs kembali anjlok. Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar rate alias JISDOR Bank Indonesia, nilai tukar rupiah pada 14 Agustus 2018 adalah Rp 14.625 per dolar AS.
Jebloknya nilai tukar rupiah itu sudah dimulai sejak kemarin, Senin, 13 Agustus 2018, saat kurs rupiah menginjak Rp 14.583 per dolar AS atau turun 146 poin ketimbang saat ditutup pada Jumat lalu, 10 Agustus 2018. Saat itu, nilai tukar menginjak level Rp 14.437 per dolar AS.
Selain itu, riset tersebut menyebutkan bahwa sentimen yang menarik rupiah terus melemah juga adalah pasar masih melihar adanya risiko turunnya pertumbuhan global akibat perang dagang AS, Cina, dan Uni Eropa. Risiko itu diperkirakan berimbas terhadap nilai tukar rupiah.
Walau demikian, LPEM FEB UI melihat kondisi fundamental ekomomi Indonesia masih relatif baik. Bank Indonesia pun dinilai kredibel dalam menjaga stabilitas nilai tukar. "Sehingga, rupiah tidak melemah lebih dalam seperti yang dialami oleh beberapa negara berkembang lainnya."
Analis Panin Sekuritas William Hartanto memprediksi krisis Turki masih akan menyeret rupiah melemah hari ini. Menurut William, rupiah akan bergerak di kisaran Rp 14.550 - Rp 14.700 per dolar Amerika Serikat.