TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo mengatakan perlu data pangan yang valid untuk dijadikan acuan demi mengakhiri polemik impor, termasuk rencana impor beras 500 ribu ton yang hangat baru-baru ini. "Data yang menjadi dasar pengambilan keputusan," katanya di kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Jakarta Selatan, Senin, 21 Mei 2018.
Menurut Bamsoet, panggilan Bambang Soesatyo, tidak adanya data rujukan menjadi penyebab munculnya perbedaan pendapat antara Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Urusan Logistik atau Bulog. "Satu sama lain saling merasa inilah data yang benar," ujarnya.
Simak: Kemendag Akui Akan Impor Beras Lagi 500 Ribu Ton
Bamsoet menyarankan pihak-pihak yang berurusan dengan impor beras bertemu mencari solusi. Dia juga berharap Presiden Joko Widodo memanggil Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Bulog.
Rencana impor beras kedua yang disampaikan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwa, beberapa hari lalu, memang mendapat banyak pertanyaan. Impor beras pertama pada 2018 sebanyak 500 ribu ton dilakukan pada Januari lalu.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Gatot Irianto menilai tambahan impor beras tidak diperlukan lantaran stok beras di gudang Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) hingga Jumat lalu sebanyak 1,295 juta ton. "Angka tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan beras beberapa bulan ke depan," kata Gatot.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi juga mempertanyakan alasan Kementerian Perdagangan. Menurut Viva, data dari Kementerian Pertanian menunjukkan stok beras surplus. Bahkan komoditas beras premium dan jagung diklaim telah diekspor. "Jika surplus beras, mengapa pemerintah impor dan impor beras 500 ribu ton lagi?" kata Viva, Kamis, 17 Mei 2018.
M YUSUF MANURUNG | ANDI IBNU | LANI DIANA