TEMPO.CO, Balikpapan -Pemerintah Balikpapan Kalimantan Timur meminta sektor swasta tidak turut memainkan dolar untuk mengeruk kepentingan pribadi. Nilai tukar mata uang dolar Amerika Serikat dengan rupiah sudah melewati Rp 14 ribu sehingga membebani keuangan nasional.
“Pengusaha juga jangan memanfaatkan situasi seperti ini,” papar Plt Wali Kota Balikpapan, Rahmad Mas’ud, Senin, 21 Mei 2018.
Rahmad mengatakan beberapa sektor komoditas pangan di Balikpapan memang sangat tergantung impor luar negeri. Otomatis kenaikan nilai tukar dolar, menurutnya akan berdampak kenaikan harga jual sejumlah komoditas di Balikpapan.
Baca: OJK Berharap Kenaikan Suku Bunga Acuan Stabilkan Sistem Keuangan
Meski begitu, Rahmad berujar agar jangan disalahartikan pengusaha memainkan harga jual dengan sekehendak hati. Pengusaha bisa memperoleh keuntungan dengan nilai yang wajar.
“Pemerintah harus bisa menjaga kestabilan nilai tukar mata uang. Pengusaha juga jangan memanfaatkan kondisi ini dengan menaikan harga barang dan komoditas pangan,” kata Rahmah.
Menurutnya, Pemerintah Kota Balikpapan terus memantau harga barang maupun komoditas yang masuk. Karena hampir 90 persen berasal dari Pulau Jawa dan Sulawesi. Termasuk memantau distributor.
“Jangan sampai ada penimbunan atau praktik spekulan yang mencoba memainkan harga karena menjadi tidak terkontrol sehingga berdampak pada daya beli konsumen,” ucapnya.
Dia mengatakan, bersama tim Satgas Pangan dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) akan mendata para distributor sembako, khususnya stok yang tersedia.“Jumlah barang yang dipasok, tingkat kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi harus dikontrol,” ujarnya.
Salah satu komoditas pangan yang bahan dasarnya harus diimpor adalah tempe. Kedelai sebagai bahan baku produk tersebut mayoritas didatangkan dari Amerika Serikat.
Saat ini, imbas melemahnya rupiah terhadap dollar yang tembus Rp 14 ribu telah berdampak pada harga kedelai yang selama ini diimpor dari Amerika Serikat.
Para pengrajin tahu dan tempe di Kawasan Industri Kecil Menengah (KIKM) Somber Balikpapan pun mengaku, harus memutar otak agar mereka tetap bisa produksi.
Hal itu karena harga kedelei yang merupakan bahan untuk membuat tahu dan tempe melonjak dalam dua pekan terakhir. Harga kedelai impor yang sebelumnya Rp 7.200 per kg menjadi Rp 8 ribu.
Para pengrajin memang tidak mungkin menaikkan harga tahu dan tempe. Sehingga yang dilakukan agar tetap bisa produksi di tengah harga kedelai yang melambung, terpaksa mengurangi ukuran tahu dan tempe.
“Untungnya tipis, jadi kita kurangi kedelainya beberapa gram. Kalau menaikan harga justru agak berat karena konsumen biasanya enggan membeli,” ujar Rukyat, perajin tahu tempe.
Menurutnya, dalam sehari dia membutuhkan sekitar 250 kg kedelei dan ketika diolah bisa menjadi 800 bungkus tempe dengan berbagai ukuran. Sedangkan tahu 38 ember atau 7.200 potong.
“Satu bungkus tempe paling murah dihargai Rp 2.000 dan termahal di ukuran besar yakni Rp 3.500 per bungkus. Saya juga bikin kecambah. Alhamdulillah, itu bisa menutupi kekurangan pendapatan,” ujarnya.
Baca berita tentang dolar lainnya di Tempo.co.