TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah menetapkan dua lokasi untuk pengembangan industri petrokimia berbasis gas, yaitu di Teluk Bintuni, Papua Barat dan Blok Masela, Maluku. Hanya saja, asumsi harga yang dipatok kontraktor gas masih berada di atas US$ 5 per MMBtu.
“Tapi yang di Bintuni belum diputus. Kemungkinan nanti bentuknya pakai harga formula, bukan harga fixed,” ujar Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian, Muhammad Khayam, pada Senin, 20 November 2017.
Menurutnya, investor petrokimia perlu mulai menyiasati tingginya harga minyak dan gas dengan skema alternatif. Salah satunya dengan mulai berinvestasi membangun fasilitas gasifikasi batu bara. Penggunaan hasil konversi batu bara menjadi gas dapat menurunkan beban biaya meskipun membutuhkan investasi yang sangat tinggi.
Baca: Ini Jaminan Insentif Fiskal Pemerintah ke Investor Petrokimia
“Perlu didorong agar ada yang mau memulai gasifikasi, efeknya pasti akan berantai. Beberapa yang sudah menyatakan ingin mencoba gasifikasi itu misalnya seperti Pupuk Indonesia, Pertamina, Chandra Asri, Bumi dan Adaro,” ujar Muhammad Khayam.
Kapasitas terpasang produk industri petrokimia di dalam negeri masih jauh berada di bawah angka permintaan nasional. Menurutnya, salah satu acuan kekurangan kapasitas itu tergambar dari produk ethylene. Kebutuhan ethylene setiap tahun mencapai 1,6 juta ton, sementara kemampuan produksi lokal hanya sebanyak 900 ribu ton per tahun.