TEMPO.CO, Solo - Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Wiranto mengakui pemenuhan kebutuhan susu dalam program makan bergizi gratis nantinya masih tergantung pada impor. Tanpa ada program makan bergizi gratis, menurut dia pasokan susu sebenarnya masih kurang.
"Ya impor, sambil sementara kita mencoba mencukupi dari dalam. Kemarin ada pemikiran ke depan nanti mulai ada upaya mendatangkan sapi perah dari luar negeri. Pemeliharaan dari kecil nanti. Sampai kapan, ya sampai nanti (sapi) bisa diperah kan?" ungkap Wiranto ketika ditemui wartawan di SD Negeri (SDN) Kleco 1 Solo, Jawa Tengah, seusai meninjau pelaksanaan uji coba makan bergizi gratis, Kamis, 19 September 2024.
Ia juga mengaku telah mendengar beberapa pengusaha susu akan mendatangkan sapi perah ke Indonesia. Namun jika untuk saat ini memang belum tersedia sapi-sapi perahan untuk kebutuhan susu tersebut, menurutnya perlu menambah pasokan susu dari luar negeri.
"Sementara ini yang diperah apa kalau nggak ada sapinya. Jadi sementara ini masih menambah impor dari luar negeri karena kebutuhan dalam negeri pun tanpa makan bergizi gratis masih kurang," ungkap dia.
Ia menilai kolaborasi dengan pihak swasta juga perlu. Menurutnya tidak masalah jika pihak swasta mendapatkan keuntungan dari proyek pengadaan susu dan sapi selama prosesnya masih masuk akal.
"Ini nanti kalau kolaborasi swasta itu swasta tentunya mendapatkan profit dari proyek ini. Nggak apa-apa, tapi selama proses itu masih sangat masuk akal itu tidak ada masalah," kata dia.
Ditanya perihal rencana penggunaan susu ikan, Wiranto menyebut itu masih sebatas wacana. Menurutnya, diperlukan teknologi untuk bisa mewujudkan itu dan juga akan ada pengujian untuk nilai gizinya.
Adapun dari pelaksanaan uji coba makan bergizi gratis di sejumlah daerah, Wiranto mengungkapkan ada temuan-temuan yang nanti menjadi masukan untuk tim presiden terpilih yang akan melaksanakan atau mengendalikan makan bergizi gratis pada level nasional.
Saat ditanya terkait biaya program makan bergizi gratis yang akan berkisar Rp 15 ribu per porsi, Wiranto mengatakan itu belum menjadi keputusan akhir. "Belum keputusan. Ini kan uji coba. Nanti kami masukkan ke level nasional baru nanti dilakukan suatu perencanaan ke level nasional," kata dia.
Menurut dia, biaya per porsi makan bergizi gratis bisa jadi tidak sama antarsatu daerah dengan daerah lainnya. Hal itu lantaran harga bahan-bahan untuk program tersebut di masing-masing daerah juga berbeda.
"Mungkin nggak sama karena harga-harga bahan sendiri, misalnya antara Surakarta (Solo) dengan Merauke berbeda, Merauke dengan Manado berbeda, nanti disesuaikan dengan harga di sana. Tapi yang penting gizinya harus standar," ucap dia.
Sementara untuk menu makan bergizi gratis, ia mengatakan tidak semua menu harus sama. Bisa juga dilakukan riset atau survei dulu untuk setiap daerah untuk mempertimbangkan selera anak di masing-masing daerah itu.
"Supaya diriset atau disurvei dulu setiap daerah itu kesukaan anak-anak itu berbeda. jangan disamaratakan. Misalnya menu di tingkat nasional hari ini lodeh, belum tentu kan dia di daerah lain juga suka lodeh. Bisa tergantung kepada kepala daerah nanti untuk menentukan model jenis makanan yang disukai anak-anak itu apa," ujar dia.
Pilihan Editor: Susu Ikan: Branding hingga Peluang Usaha UMKM