TEMPO.CO, Jakarta - Presiden terpilih Prabowo Subianto manargetkan perolehan sampai Rp1.000 triliun (65 miliar dolar AS) pada 2028 dari penjualan kredit emisi karbon berbagai proyek seperti pelestarian hutan hujan.
Sebuah badan pengatur baru terkait perdagangan karbon akan dibentuk untuk mengawasi berbagai upaya mencapai target emisi Indonesia berdasarkan perjanjian Paris, kata Ferry Latuhihin, salah satu penasihat Prabowo untuk kebijakan iklim, kepada Reuters, Jumat, 13 September 2024.
Badan tersebut akan membentuk "misi khusus" yang akan mengelola dana hijau dan mengoperasikan berbagai proyek pengimbangan karbon, katanya. Proyek-proyek tersebut akan mencakup pelestarian hutan, reboisasi, dan penanaman kembali lahan gambut dan bakau, untuk menghasilkan kredit karbon yang dapat dijual secara internasional, kata Latuhihin.
Targetnya adalah mencapai penjualan Rp1.000 triliun ($65 miliar) pada tahun 2028, katanya.
"Kita perlu memanfaatkan keunggulan komparatif kita, yaitu alam," kata Latuhihin.
Target itu berpotensi membantu salah satu dari 10 penghasil emisi teratas dunia dan rumah bagi hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia memenuhi tujuannya untuk mencapai netralitas karbon bersih pada tahun 2060.
Target Ambisius
Namun, target tersebut menghadapi tantangan besar termasuk persaingan di pasar karbon global dan memastikan proyek-proyek dianggap kredibel.
Christina Ng, direktur pelaksana Energy Shift Institute, sebuah lembaga pemikir yang berfokus pada transisi energi Asia, mengatakan ekosistem alam Indonesia yang luas menawarkan ruang lingkup untuk proyek-proyek pengimbangan karbon utama, tetapi targetnya sangat ambisius dari perspektif finansial dan operasional.
Prabowo, yang akan dilantik pada 20 Oktober, telah berjanji untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi menjadi 8% selama masa jabatan lima tahunnya, dari 5% saat ini, termasuk melalui investasi dalam proyek-proyek hijau.
Latuhihin mengatakan proyek-proyek pengimbangan akan menciptakan peluang kerja yang besar dan dapat membantu mencapai target pertumbuhan.
Pemerintah akan menyediakan modal awal, yang masih dalam tahap penentuan, tetapi diharapkan dana tersebut akan tumbuh dengan menjual kredit karbon di dalam negeri dan luar negeri dan membayar dividen kepada pemerintah setelah menguntungkan, katanya.
Menggabungkan dana dalam entitas semacam itu akan memungkinkan Indonesia untuk menjalankan proyek hijau berskala besar tanpa menggunakan anggaran pemerintah, kata Latuhihin.
Ia mengatakan standar internasional tentang verifikasi akan diikuti, dan teknologi akan digunakan untuk mengonfirmasi berapa banyak karbon dioksida (CO2) yang diserap setiap proyek dari atmosfer.
Christina Ng mengatakan kredit karbon berbasis alam biasanya diperdagangkan antara $5 hingga $50 per metrik ton setara CO2, tetapi harga rata-rata di bawah $10 per ton tahun lalu.
Bahkan dengan harga $50 per ton, untuk mencapai target 65 miliar dolar AS diperlukan lebih dari 200 juta ton kredit karbon per tahun. Jumlah tersebut hampir menyamai total penerbitan kredit karbon sebesar 239 juta ton yang tercatat di seluruh pasar sukarela global pada 2021, kata Ng.
Jika harga pasar hanya $10 per ton, volume yang sama hanya akan menghasilkan $2 miliar per tahun, sehingga target $65 miliar semakin jauh dari jangkauan.
"Mengingat lanskap pasar karbon global yang kompetitif, dengan negara-negara seperti Brasil dan negara-negara lain di Asia Tenggara juga menawarkan kredit berbasis alam, entitas tersebut perlu menunjukkan bahwa kredit mereka memenuhi standar tertinggi," katanya, seraya mencatat bahwa rekam jejak Indonesia telah dirusak oleh masalah tata kelola.
Tingkat deforestasi Indonesia telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, namun masalah kebakaran hutan masih terjadi untuk membuka lahan untuk perkebunan.
Pemerintahan Prabowo akan mengadakan road show untuk mempromosikan proyek-proyek tersebut di luar negeri, dengan harapan dapat bekerja sama dengan bank-bank internasional besar dalam penjualan kredit karbon di pasar-pasar dengan harga karbon yang lebih tinggi, kata Latuhihin.
Dikelola BPDLH
Selama ini, tata kelola karbon untuk perdagangan karbon dalam dan luar negeri telah diatur dalam Perpres No. 98 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 21 Tahun 2022. Hingga saat ini, kementerian dan lembaga terkait terus mempersiapkan pengaturan dan langkah operasionalnya. Regulasi ini juga termasuk mengatur ketentuan peralihan bagi pelaku usaha yang telah melakukan perdagangan karbon sebelum keluarnya Perpres No. 98 Tahun 2021.
Perdagangan karbon dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), yang melaksanakan pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di bidang kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan karbon, jasa lingkungan, industri, transportasi, pertanian, kelautan dan perikanan, dan bidang lainnya terkait lingkungan hidup sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. BPDLH didirikan pada September 2019 dan diluncurkan pada Oktober 2019.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2023, hasil transaksi perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik mencapai Rp84,17 miliar dengan total transaksi karbon sebesar 7,1 juta ton CO2 ekuivalen.
Berdasarkan peta jalan perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik yang telah disusun oleh Kementerian ESDM, berpotensi akan menurunkan emisi gas rumah kaca sedikitnya 100 juta ton CO2 ekuivalen pada tahun 2030. Peta jalan yang disusun tersebut diselenggarakan ke dalam tiga fase, yang terbagi menjadi fase pertama pada tahun 2023-2024, fase kedua tahun 2025-2027, dan fase ketiga tahun 2028-2030.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan nilai perdagangan di bursa karbon Indonesia mencapai Rp30,7 miliar dengan volume perdagangan 490.716 ton setara karbondioksida (CO2e) sepanjang 26 September 2023 hingga 30 November 2023.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi memerinci, nilai perdagangan tersebut meliputi 30,56 persen di pasar reguler atau senilai Rp9,38 miliar, 9,24 persen di pasar negosiasi atau Rp2,84 miliar, serta 60,2 persen di pasar lelang atau Rp18,48 miliar.
"Ke depan potensi bursa karbon di Indonesia masih besar mengingat 71,95 persen karbon yang ditawarkan masih belum terjual," ujar Inarno dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan November 2023.
Hingga November 2023, Inarno membeberkan terdapat peningkatan pengguna jasa di bursa karbon menjadi 41 dari 25 pengguna jasa karbon di Oktober 2023. Selain itu, tercatat sebanyak dua penjual unit karbon dan 23 pembeli unit karbon.
Bursa Karbon Indonesia atau IDXCarbon menyediakan sistem perdagangan yang transparan, teratur, wajar, dan efisien sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon.
REUTERS | ANTARA | ESDM | KLHK
Pilihan Editor Anindya Bakrie Terpilih Sebagai Ketua Umum Kadin di Munaslub