TEMPO.CO, Jakarta -Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memaparkan hasil kajian yang menerapkan kerangka analisis ekonomi persaingan usaha terhadap kontestasi politik dalam pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024. Kajian ini untuk mengkalkulasi kesehatan persaingan serta konsentrasi dukungan terhadap pasangan calon dalam Pilkada.
“Sedikitnya pilihan akibat oligarki dan kolusi partai di Pilkada tidak sehat bagi pembangunan ekonomi daerah tersebut,” kata Direktur Riset INDEF Berly Martawardaya dalam keterangan tertulis yang Tempo kutip pada Sabtu, 7 September 2024.
Berly menyebut UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menerapkan batas 75 persen market share sebagai limit oligopoli di suatu produk tertentu. KPPU menggunakan Hirsch-Herfindahl Index (HHI) yang menghitung konsentrasi dan persaingan usaha. Kalau ada merger atau akuisisi yang menghasilkan konsentrasi pasar tinggi dengan Index HHI>4000 akan ditolak.
Dalam risetnya, Berly menemukan pada pemilihan gubernur Jakarta, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan terdapat Indek Persaingan lebih dari 6000 alias melebihi 1,5 kali batas yang diterapkan Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Menurut Berly, kondisi seperti ini dalam persaingan usaha bisa dinilai tidak sehat. Meski terdapat dua pasangan calon, kata dia, tapi satu pangan didukung lebih dari 75 persen suara pileg dan pilkadanya memiliki Indeks HHI lebih dari 6000.
“Berarti lebih dari 1,5 kali batas yang diterapkan KPPU untuk persaingan usaha yang sehat. Hal serupa terjadi pada pemilihan bupati di Jember dan Bogor. Artinya, pada banyak pilkada, persaingannya masih tidak sehat,” kata Berly.
Berly mengatakan persaingan dalam Pilkada 2024 pada tingkat kota cenderung lebih sehat dari pada kabupaten dan provinsi. Dia menilai banyak kemiripan antara persaingan usaha dan persaingan politik. “Tapi regulasi di persaingan politik lebih sedikit dan longgar. Padahal, pilkada adalah ajang para calon kepala daerah untuk menawarkan gagasan dan arah pembangunan daerah lima tahun ke depan pada konstituen,” kata dia.
Dalam keterangan tertulis yang sama, Pengajar Ilmu Politik UI dan Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting, Aditya Perdana, menilai kompetisi dalam Pilkada 2024 relatif tidak sehat. Alasannya, Pilkada saat ini masih didominasi oleh kekuatan koalisi partai politik yang dominan di pusat.
“Kompetisi yang terbuka dan lebih sehat perlu terus didorong bagi perkembangan demokrasi lokal. Penguatan demokrasi dapat dilakukan dalam Pilkada 2029 bila masyarakat sipil konsisten mendorong revisi UU Pilkada dari sekarang,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, mengatakan kondisi Pilkada pada tahun ini tidak ideal. Dia beralasan Pilkada 2024 ini dilaksanakan pada tahun yang sama dengan Pemilu presiden dan legislatif. Akibatnya, ada kecenderungan untuk menerapkan koalisi partai politik di tingkat nasional ke daerah.
"Masih terdapat 41 pilkada dengan calon tunggal dan banyak pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan salah satu paslon memborong dukungan partai politik sehingga membentuk koalisi besar dengan suara pileg melebihi 50 persen,” kata dia.
Menurut dia, keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60 dan 70 Tahun 2024 belum dimanfaatkan secara maksimal oleh partai politik. “Perlunya batas atas maksimal pada revisi UU Pilkada berikutnya supaya persaingan politik lebih sehat,” kata dia.
Pilihan editor: Dana Pensiun Pokok Tidak Bisa Dicairkan Sebelum 10 Tahun Kepesertaan, Ini Penjelasan OJK