TEMPO.CO, Jakarta - Chief Economist Mandiri Sekuritas, Rangga Cipta mengungkapkan, setelah Covid-19, daya beli kelas menengah cenderung melambat dan tidak bergerak. Ia menyampaikan, pasca Covid-19 segalanya mulai terbuka, termasuk ekonomi berjalan normal. Pihak yang mendorong pemulihan kondisi ekonomi adalah kalangan kelas menengah dan atas.
“Setelah reopening ini justru kelas menengah itu mulai melambat, ada isu sektor manufaktur yang mulai terdapat pelambatan global, makanya di India kita sering dengar ada banyak pay-off, terutama di sektor manufacturing-nya,” kata Rangga kepada Tempo.co, pada Rabu, 7 Agustus 2024.
Menurut Rangga, kombinasi kondisi tersebut membuat konsumsi kelas menengah menurun dibandingkan kelas bawah yang posisinya tidak bergerak dan mendapatkan bantuan sosial. Kondisi daya beli kelas menengah yang menurun ini sebenarnya bisa dilihat dari perayaan Idul Adha pada Juni 2024 lalu.
Para pakar memproyeksikan jumlah orang yang berkurban dari kelas menengah-bawah 2024 menurun karena fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu, penurunan pembelian hewan kurban juga terjadi karena tingginya angka pengangguran sehingga pendapatan kelas menengah-bawah mengalami stagnasi dan turun signifikan.
Kelas Menengah
Kelas menengah dapat didefinisikan dari pendekatan berbeda. Pendekatan relatif mengartikan kelas menengah menurut okupansi, baik dari sisi pendapatan maupun konsumsi. Sementara itu, pendekatan absolut mendefinisikan kelas menengah sesuai pendapatan atau pengeluaran konsumsi. Perbedaan definisi dari dua pendekatan tersebut terletak pada ukuran pendapatan atau pengeluaran.
Berdasarkan publikasi ilmiah Kelas Menengah (Middle Class) dan Implikasinya dalam researchgate.net, kelas menengah dari pendekatan relatif memiliki pendapatan 75 dan 125 persen dari median pendapatan per kapita masyarakat.
Sementara itu, menurut ekonom India, Surjit Bhalla, kelas menengah dari pendekatan absolut merupakan orang-orang dengan pendapatan tahunan lebih dari US$3.900 (Rp62 juta) dalam ukuran paritas daya beli (purchasing power parity atau PPP). Di sisi lain, ekonom Australia, Martin Ravallion menggunakan pendekatan cangkokan (hybrid) yang membedakan kelas menengah negara berkembang dengan negara maju.
Mengacu journals.csis.or.id, istilah dan aspek kelas menengah di Indonesia mulai mendapatkan perhatian pada akhir 1970-an yang ditinjau berdasarkan kriteria politik. Salah satu cendekiawan, Rusadi Kantaprawira mengungkapkan, struktur sosial di Surabaya terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, yaitu penduduk miskin, buruh pabrik, kaum intelektual kelas menengah, dan petani. Selama ini, kaum intelektual kelas menengah kurang dilibatkan dalam pembangunan. Padahal, secara potensial golongan tersebut dapat menjadi oposisi pemerintah.
Lalu, pada 1980-an, terdapat golongan menengah baru dari berbagai kalangan masyarakat. Golongan tersebut sadar akan hak dan kewajiban politiknya yang memiliki kepentingan terhadap sistem politik demokratis. Golongan itu juga akan menentang praktik politik yang menyimpang dari nilai-nilai demokrasi. Sejak awal mendapatkan perhatian, kelas menengah di Indonesia memiliki potensi kekuatan yang sangat besar dalam berbagai aspek kehidupan.
RACHEL FARAHDIBA R | BAGUS PRIBADI
Pilihan Editor: Daya Beli Masyarakat Kelas Menengah Diperkirakan Meningkat Tahun Depan