TEMPO.CO, Jakarta - Kasus dugaan korupsi di PT Timah, yang melibatkan 16 tersangka, diduga merugikan negara sampai Rp271 triliun. Kerugian terbesar akibat kerusakan alam karena pengrusakan hutan alam.
“Kerugian negara dan lingkungan akibat kejahatan tersebut ditaksir mencapai Rp 271 triliun,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, seperti dikutip Majalah Tempo edisi 11-17 Maret 2024.
Penghitungan kerugian ekologis dilakukan oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Bambang Hero Saharjo, melalui pengamatan citra satelit dari 2015 hingga 2022. Terdapat izin usaha pertambangan (IUP) di darat seluas hampir 350 ribu hektare di tujuh kabupaten di Provinsi Bangka Belitung.
Pakar lingkungan itu mengatakan pernah diminta Kejaksaan Agung mengkaji kerugian akibat aktivitas tambang timah ilegal di Bangka Belitung. Ia menggandeng sejawatnya di IPB, guru besar ekologi hutan Basuki Haris. Mereka menganilis kerugian negara dan ekologis akibat penambangan illegal melalui citra satelit sepanjang 2015-2022, selain pemeriksaan lapangan.
“Kami terkejut, ada ratusan perusahaan yang beroperasi di balik kasus ini,” ucapnya seperti dikutip majalah Tempo.
Sedangkan data luas galian tambang di tujuh kabupaten itu mencapai 170 ribu ha, sekitar 75.345,751 ha berada di dalam kawasan hutan dan 95.017,313 ha berada di luar kawasan hutan.
Galian tambang dalam kawasan hutan itu berada di hutan lindung (13.875,295 hektare), di hutan produksi tetap (hampir 60 ribu ha), di hutan produksi yang dapat dikonversi (77 ha), dan di taman hutan raya (1.230 ha).
"Bahkan di taman nasional pun ada, yaitu seluas 306,456 ha," kata Bambang seperti dikutip Betahita.id.
Penghitungan kerugian ekologi dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan. Kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah dalam kawasan hutan mencapai Rp 223,36 triliun.
Jumlah ini terdiri dari biaya kerugian lingkungan (ekologi) sebesar Rp 157,83 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp 60,27 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp5,26 triliun.
Sementara itu, kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah di luar kawasan hutan atau di areal penggunaan lain (APL), biaya kerugian lingkungannya sebesar Rp25,87 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 15,2 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp6,62 triliun sehingga totalnya Rp 47,70 triliun.
"Kalau semua digabung kawasan hutan dan luar kawasan hutan, total kerugian akibat kerusakan yang juga harus ditanggung negara adalah Rp 271,06 triliun," kata Bambang.
Kejaksaan Agung belum mengungkap kerugian negara akibat pat-gulipat ini di luar kerugian ekologi.
16 Tersangka
Kejaksaan Agung telah menetapkan 16 tersangka, termasuk Harvey Moeis dan Helena Lim. Harvey berperan untuk melobi beberapa smelter di kawasan IUP PT Timah untuk mengakomodasi pertambangan liar. Dalam prosesnya, Harvey Moeis memfasilitasi pertambangan tanpa izin ini dengan sewa-menyewa alat peleburan timah.
Helena merupakan manajer PT QSE yang diduga turut cawe-cawe membantu menyewakan alat peleburan timah di kawasan PT Timah Tbk.
“Penyidik menyimpulkan telah cukup alat bukti yang bersangkutan sebagai tersangka,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus atau Jampidsus Kuntadi di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, pada Selasa malam, 26 Maret 2024.
Kuntadi menyebut Helena Lim diduga kuat membantu mengelola hasil dari tindak pidana korupsi dengan memberikan sarana dan fasilitas kepada para pemilik smelter. Dalih crazy rich itu, kata dia, adalah menerima atau menyalurkan dana Corporate Social Responsibilityatau CSR yang menguntungkan para tersangka lain, termasuk dirinya.
Kasus dugaan korupsi ini berawal pada 2018. Tersangka ALW selaku Direktur Operasi PT Timah Tbk periode 2017 s/d 2018 bersama tersangka MRPT selaku Direktur Utama PT Timah Tbk dan tersangka EE Direktur Keuangan PT Timah Tbk menyadari pasokan bijih timah yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan smelter swasta lainnya. Hal itu diakibatkan oleh masifnya penambangan liar yang dilakukan dalam wilayah IUP PT Timah.
Atas kondisi tersebut, ALW bersama dengan MRPT dan EE yang seharusnya melakukan penindakan terhadap penjarah tambang, justru menawarkan pemilik smelter untuk bekerja sama dengan membeli hasil penambangan ilegal melebihi harga standar yang ditetapkan oleh PT Timah Tbk tanpa melalui kajian terlebih dahulu.
Guna melancarkan aksinya untuk mengakomodir penambangan ilegal tersebut, ketiga anggiota direksi ini menyetujui untuk membuat perjanjian seolah-olah terdapat kerja sama sewa-menyewa peralatan peleburan timah dengan para smelter.
Sebanyak 13 tersangka lain adalah pihak swasta.
Pilihan Editor SPAI Tolak Bingkisan hingga Bonus Hari Raya untuk Ojol: Insentif Bukan THR