TEMPO Interaktif, Jakarta:Kalangan pengusaha rotan menilai revisi Peraturan Menteri Perdagangan No. 12 tahun 2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan diskirminatif. Dalam ketentuan baru tersebut izin ekspor diberikan kepada eksportir yang berada di sentra produksi rotan.
Ketua Asosiasi Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia Ambar Tjahyono mengatakan, revisi ini membuat pengusaha rotan di Jawa tidak boleh ekspor. "Ini diskriminatif, seharusnya peraturan tidak boleh dibatasi oleh orang tertentu," ujarnya, Minggu (21/6).
Menurut dia, Indonesia memiliki sentra produksi rotan antara lain di Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan. "Ada banyak tempat, semua di luar Jawa," kata dia. Ambar khawatir pelaksanaan aturan baru ini justru menimbulkan masalah baru dan penolakan dalam implementasi akibat adanya diskriminasi. "Kalau pemerintah membuka ekspor, harusnya tiap orang boleh melakukan hal yang sama, tidak dibedakan.”
Dalam revisi peraturan disebutkan, izin ekspor rotan hanya bagi eksportir yang berada di sentra produksi rotan. Menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, revisi telah disepakati dan segera dikeluarkan pekan ini. "Sudah disepakati akan dikeluarkan minggu depan," ujarnya pekan lalu.
Aturan ini dimaksudkan untuk mengurangi kelangkaan pasokan bahan baku untuk industri pengolahan. Sedangkan rotan yang dihasilkan di luar sentra produksi rotan seperti di Jawa, hanya diserap oleh industri luar negeri. Meski demikian izin ekspor baru diberikan bagi eksportir yang sudah memasok bahan baku ke industri dalam negeri dengan rasio pasokan dalam negeri dan ekspor 30:70 persen. Kuota ekspor diberikan adalah 30 persen dari jumlah yang telah diberikan ke pasokan dalam negeri.
Menurut Ambar, yang harus dilakukan pemerintaha bukan pembatasan tapi pengawasan yang ketat. "Tanpa pengawasan ekspor ilegal tetap merebak," katanya. Dia menambahkan, selisih harga jual di dalam dan luar negeri sebesar 20 persen. Akibatnya, banyak pengusaha yang memilih ekspor dibandingkan menjual di dalam negeri. negeri.
VENNIE MELYANI