TEMPO.CO, Jakarta - Business Development Manager Maxim Imam Mutamad Azhar buka suara usai pakar transportasi Djoko Setijowarno menilai ojek online atau ojol sebagai bisnis gagal. Menurut dia, seorang pakar yang memberikan opini atau pendapat dan diperbolehkan, tapi dari 2018 dengan lima kota batch pertama termasuk Jakarta, aplikasi ojol itu sudah berkembang di banyak kota.
"Sekarang kami sudah buka di 93 kota, kalau dianggap gagal, apakah ini bisa menjadi parameter? Itu silakan saja jika ada dasarnya. Ya kami juga ada dasarnya menyampaikan bahwa alhamdulillah keberadaan kami bisa meberikan kontribusi. Paling tidak dari sisi itu saja," ujar Imam melalui sambungan telepon pada Kamis, 13 Oktober 2022.
Imam juga mengingatkan bahwa pihaknya adalah aplikator atau agregator seperti marketplace. Tugasnya, kata dia, hanya mempertemuam permintaan dan penawaran. Jika itu tidak memberikan manfaat atau pasar Maxim tidak menguntungkan buat yang bertransasksi, pasti sudah ditutup.
Baca: Hasil Audiensi Ojek Online: Kemenhub Janjikan Pertemuan Lanjutan Bersama Aplikator dan Kominfo
"Mengenai sebutan tidak mensejahterakan, ya mohon maaf ya apakah semua perusahaan yang ada di sini bisa mensejahterakan? To the point ya saya bilang bahkan perusahaan yang boleh kita bilang didanai atau dimiliki oleh pemerintah apakah itu bisa mensejahterakan semua?" ucap dia.
Menurut Imam, lebih baik penilaian suatu bisnis gagal atau tidak semata-mata dari keberhasilan menyejahterakan. Dia juga mempertanyakan apakah Maxim harus datang jadi sinterklas yang kerap memberikan hadiah. "Kan enggak. Bukan begitu, enggak begitu konsepnya."
Imam menuturkan Maxim datang karena distrupsi bisnis yang berubah total, bahkan mempermudah dan memperpendek mata rantai dari penjuan yang langsung bertemua dengan pembeli atau pengguna akhir. Dia mengatakan bahwa Maxim dari awal tidak menjanjikan untuk menyejahterakan, karena selama ini hubungan aplikator dengan driver ojol sifatnya memiliki kebebasan.
Selanjutnya: "Driver punya kebebasan. Mau bekerja, ya dapat uang."