"Maka harus ditambah dan otomatis subsidi meningkat. Dengan asumsi ICP US$D 97, tanpa kenaikan harga BBM pemerintah harus menambah subsidi Rp 137 triliun. Jika US$ 99 nambah Rp 151 triliun, dan bila US$ 105 akan butuh Rp 195 triliun," ujar dia.
Kendati begitu, Prastowo berpendapat, beban anggaran subsidi BBM ini bisa menyusut ketika harga BBM dinaikkan mengimbangi kenaikan harga minyak mentah dunia. Dengan penyesuaian harga pada pekan lalu, dalam rentang ICP US$ 97,99 dan US$ 105 per barrel, maka pemerintah masih menanggung subsidi Rp 89 triliun sampai Rp 147 triliun.
"Ini pun jumlah yang sangat besar. Maka pengalihan ke BLT BBM itu langkah tepat untuk melindungi daya beli masyarakat yang kurang mampu," ujar Prastowo.
Dengan naiknya harga BBM dan besaran anggaran subsidinya dialihkan untuk program BLT, maka pemerintah bisa memiliki ruang fiskal yang lebih longgar dan APBN bisa lebih sehat ke depannya. Oleh sebab itu, anggaran untuk BLT masih bisa ada karena pemerintah lebih ingin membelanjakan anggarannya untuk hal-hal yang lebih berkualitas ketimbang harus habis semuanya untuk subsidi BBM.
Pengalihan subsidi BBM ini dirasa penting untuk mendorong belanja berkualitas, pembiayaan berkesinambungan, dan pondasi yang kokoh untuk masa mendatang. "Windfall pajak/PNBP (penerimaan negara bukan pajakn) seluruhnya sudah dialokasikan untuk subsidi Rp 502 triliun. Itu esensi keadilan," ucap Prastowo.
Baca: Pakar Siber Analisis Sampel 1,3 Miliar Data Bocor: 1 NIK Bisa untuk Daftar 1.287 SIM Card
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.