TEMPO.CO, Jakarta - Tak sedikit masyarakat bertanya-tanya ihwal kemampuan keuangan pemerintah memberikan beragam bantuan sosial dari hasil pengalihan anggaran subsidi BBM di saat menaikkan harga BBM. Apalagi anggaran bansos yang diberikan--seiring pemberlakuan kenaikan harga BBM subsidi--cukup besar.
Pasalnya, pemerintah menaikkan harga BBM pada pekan lalu dengan alasan anggaran subsidi BBM pada 2022 yang membengkak, kuota BBM semakin menipis, dan harga minyak dunia bergejolak. Tapi, alih-alih melakukan pembatasan konsumsi BBM, pemerintah malah menaikkan harga BBM bersubsidi seraya menggelontorkan bantalan sosial sebesar Rp 24,17 triliun.
Menanggapi pertanyaan yang mulai muncul di kalangan masyarakat ini, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo memberi penjelasan. Keputusan pemerintah untuk mengalihkan anggaran subsidi BBM yang membengkak itu, kata dia, semata-mata untuk menjaga daya beli masyarakat.
Tanpa adanya kenaikan harga BBM yang telah diumumkan pada Sabtu, 3 September 2022, Prastowo mengatakan, anggaran subsidi dan kompensasi energi yang telah melonjak drastis hingga Rp 502 triliun saat ini bisa langsung habis begitu saja karena kuotanya cepat terkikis akibat tingkat konsumsi masyarakat.
"Tanpa penyesuaian, Rp 502 triliun habis dan harus nambah Rp 89 triliun sampai dengan Rp 147 triliun, tergantung ICP (Indonesian Crude Price). Maka kita alihkan untuk BLT BBM dan belanja produktif," kata dia dikutip dari akun Twitter @prastow, Rabu, 7 September 2022. Prastowo mengizinkan Tempo untuk mengutip cuitan tersebut.
Prastowo membeberkan, total anggaran subsidi BBM 2022 yang telah membengkak dari mulanya Rp 152,5 triliun menjadi Rp 502 triliun saat ini masih berpotensi membengkak karena kuota subsidinya akan habis pada Oktober 2022. Oleh karena itu, harus ditambah dengan anggaran baru yang berpotensi membuat APBN defisitnya semakin besar.
Selanjutnya: "Anggaran subsidi BBM hanya turun jika harga BBM dinaikkan."