"Sebab pemerintah lebih gencar mempercepat proses sertifikasi tanah yang sebenarnya sudah merupakan tugas harian Kementerian ATR/BPN,” kata Dewi.
Indikasi lemahnya kemauan politik itu juga terlihat dari cara pemerintah merespons dan menindaklanjuti lokasi-lokasi prioritas usulan masyarakat. KPA sejak 2015 telah mengusulkan 532 usulan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) dan dari total usulan tersebut, baru 10 persen yang ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Ketiga, kemacetan pelaksanaan reforma agraria akibat ketiadaan kepemimpinan yang tegas secara nasional sehingga yang terjadi di lapangan adalah ego-sektoral antarkemenrterian dan lembaga.
Idealnya, kata Dewi, reforma agraria harus dilaksanakan oleh badan otoritas khusus yang langsung dipimpin oleh Presiden. "Badan ini merupakan badan ad hoc yang terdiri dari berbagai kementerian lembaga, organisasi masyarakat sipil, organisasi tani, organisasi masyarakat adat, dan organisasi nelayan."
Lebih jauh, Dewi menyatakan KPA sudah sejak lama mendorong Presiden Jokowi agar segera membentuk Badan Otorita Reforma Agraria (BORA) yang langsung dipimpin oleh kepala negara. Aih-alih merespons dorongan itu, pemerintah justru membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang berada di bawah kordinasi Kemenko Perekonomian.
Ia menyatakan, seperti yang sudah diprediksi sebelumnya, tim ini bisa dikatakan gagal sebab tingginya ego-sektoral antar Kementerian dan Lembaga yang tidak mampu dikoordinir oleh Menko. "Ironisnya, saat ini kepemimpinan tersebut kembali diturunkan pada level Wamen,” katanya.
Lemahnya kelembagaan ini diperparah dengan mekanisme pelaksanaan reformasi agraria yang tertutup dari keterlibatan organisasi masyarakat sipil. Padahal hal tersebut sudah dimandatkan oleh Perpres Reforma Agraria.
KPA mencatat tidak ada satu pun organisasi masyarakat sipil utamanya dari gerakan reforma agraria, yang menjadi bagian dari Tim Reforma Agraria Nasional. Selain itu, GTRA provinsi yang dipimpin gubernur dan GTRA kabupaten yang dipimpin bupati belum secara serius menjalankan mandat Perpres Reforma Agraria.
Keempat, KPA memandang pelantikan Hadi Tjahjanto yang notabene dari kalangan militer berpotensi melahirkan konflik kepentingan dalam penyelesaian konflik agraria. Catatan KPA, TNI merupakan pihak yang seringkali berhadapan dengan masyarakat di wilayah konflik, baik konflik secara langsung maupun sebagai pelaku kekerasan dalam penanganan konflik agraria.
Tak sedikit ditemukan konflik agraria antara masyarakat dengan TNI...