TEMPO.CO, Jakarta - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan pergantian Menteri Agraria dan Tata Ruang sekaligus Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dari Sofyan Djalil ke Hadi Tjahjanto tidak akan menyelesaikan masalah agraria.
Pasalnya, Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menilai, pembaruan agraria diperlukan kepemimpinan, mekanisme dan diskresi hukum langsung dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Ia menyebutkan mandeknya penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah selama ini lebih disebabkan cara pandang pemerintah yang tak secara utuh melihat kaitan reforma agraria dengan penyelesaian konflik agraria struktural.
Menurut Dewi, percepatan proses sertifikasi tanah yang jumlah laporannya sangat bombastis, berbanding terbalik dengan jumlah penyelesaian konflik agraria yang telah berlangsung selama puluhan tahun. "Padahal, inti dari reforma agraria adalah penyelesaian konflik dan perombakan ketimpangan agraria,” kata Dewi dalam keterangan tertulis, Kamis, 16 Juni 2022.
KPA mencatat sejak kepemimpinan Presiden Jokowi khususnya pada periode tahun 2015-2021, terdapat 2489 letusan konflik agraria di berbagai wilayah. Situasi ini merupakan akumulasi dari kelindan antara konflik-konflik agraria lama yang tidak kunjung selesai, bertemu dengan konflik-konflik agraria yang baru.
Adapun pergantian Menteri Agraria kemarin, menurut dia, membuktikan pemerintah gagal melihat situasi konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Mengacu catatan KPA, persoalan konflik agraria struktural juga banyak terjadi di wilayah hutan, pertambangan, pesisir, dan akibat proyek pembangunan infrastruktur.
Hal tersebut melibatkan tidak hanya Kementerian ATR/BPN namun berbagai kementerian lainnya seperti Kementerian LHK, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, dan Kementerian ESDM.
Selain itu, ada masalah mandeknya penyelesaian konflik dan redistribusi tanah akibat lemahnya kemauan politik pemerintah. Hal ini menjadikan pelaksanaan penyelesaian konflik agraria seperti jalan di tempat. Situasi ini terjadi akibat tidak adanya terobosan politik dan diskresi hukum dari pemerintah merespon hambatan-hambatan penyelesaian tersebut.
Padahal, menurut Dewi, pemerintah sudah mempunyai instrumen hukum yang cukup untuk mempercepat pelaksanaan reforma agraria. Tapi hal itu tidak pernah diambil.
Percepatan proses sertifikasi tanah dikritik...