Ia kemudian merinci empat versi nilai utang Texmaco yang beredar:
- Utang Rp 8,09 triliun
Menurut dia, utang komersial sebesar ini didasarkan pada Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara pada kasus Grup Texmaco oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Deputi Bidang Pengawasan Khusus nomor SR-02.00.01-276/D.VII.2/2000 tanggal 8 Mei 2000. Laporan ini adalah tindak lanjut dari nota kesepakatan antara PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengenai penyelesaian kredit atas nama Texmaco yang ditandatangani pada 25 Februari 2000.
“Nota kesepakatan ini ditandatangani oleh Dirut BNI Saifuddien Hasan, Kepala BPPN Cacuk Sudarijanto, dan diketahui oleh Menteri Keuangan Bambang Sudibyo,” kata Sinivasan.
- Utang Rp 29 triliun versi Sri Mulyani
Sinivasan mengutip pernyataan Sri Mulyani yang menyebu Texmaco punya utang kepada negara sebesar Rp 29 triliun plus tunggakan L/C sebesar US$ 80,57 juta. Angka utang sebesar ini didasarkan pada Akta Pernyataan dan Kesanggupan No. 51 pada tanggal 16 Juni 2005.
3. Utang Rp 38 triliun
Menurut Sinivasan, utang komersial Texmaco ini terdiri dari berbagai jenis sumber penetapan. Di antaranya yaitu Rp 790 miliar tidak termasuk biaya administrasi alias biad (berdasarkan surat Menteri Keuangan Nomor S-11/MK.6/2009 tanggal 12 Januari 2009). Lalu, Rp 169 miliar termasuk biad (berdasarkan penetapan jumlah piutang negara Nomor PJPN-22/PUPNC.10.02/2018 tanggal 12 Februari 2018).
Kemudian, Rp 160 miliar termasuk biard (berdasarkan jumlah piutang negara Nomor PJPN-24/PUPNC.10.02/2018 tanggal 12 Februari 2018). Dan empat nominal utang Rp 14,3 triliun, US$ 1,6 miliar, 3 miliar Yen Jepang, dan 151 ribu Franc Perancis (berdasarkan Master Restructuring Agreement for Texmaco Group atau MRA Nomor 10 tanggal 23 Mei 2001). Semua perhitungan utang ini, kata Sinivasan, berasal dari Satgas BLBI dengan surat nomor S-820/KSB/2021.
- Utang Rp 93 triliun
Menurut Sinivasan, utang ini terdiri atas Rp 31 triliun dan US$ 3,9 miliar. Utang komersial ini didasarkan pada Surat Paksa nomor SP-998/PUPNC.10.00/2021 yang dikeluarkan oleh KPKNL Jakarta III dan ditandangani oleh Des Arman, Kepala KPKNL Jakarta III pada tanggal 10 September 2021.
Untuk itulah, Sinivasan menyebut dirinya meminta keadilan dari pengadilan karena selalu ada versi utang yang berbeda-beda. Di sisi lain, Sinivasan menyebut utang Grup Texmaco disebabkan juga oleh kesalahan pemerintah dalam membuat kebijakan untuk merespons krisis mata uang tahun 1997 dan 1998.
Akibat kebijakan pemerintah yang mengikuti arahan International Monetary Fund atau IMF, kata dia, nilai rupiah melemah hingga Rp 16 ribu per dolar Amerika Serikat. Suku bunga pinjaman JUGA melonjak hingga di atas 80 persen. Lalu, beban utang meningkat hingga lebih dari enam kali lipat akibat kebijakan yang mengikuti arahan IMF itu.
Walhasil, Sinivasan menyebut industry strategis nasional juga “dibunuh” oleh IMF. Bagi dia, Industri dalam negeri perlu dukungan kebijakan yang konsisten dan para pelaku bisnis membutuhkan kepastian usaha, termasuk kepastian jumlah utang. “Kami tidak dalam posisi mempersalahkan IMF, melainkan sekadar meminta keadilan,” kata Sinivasan.
BACA: Marimutu Sinivasan Sebut Utang Texmaco Rp 8 T, Sri Mulyani: Padahal Rp 29 T
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.