Kementerian Perhubungan menyayangkan kejadian ini. "Sudah seharusnya proses ini dilakukan dengan cermat dan penuh kehati-hatian,” ujar Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Zulfikri.
PT Industri Kereta Api (Persero) INKA sebagai produsen LRT mengklaim kerugian perusahaan akibat kecelakaan ini tidak terlampau besar. “Kami hanya rugi ongkos perbaikan. Tapi jumlahnya tidak terlalu besar karena yang terimbas kecelakaan hanya dua trainset,” ujar Direktur Utama INKA Budi Noviantoro.
Selain masalah penggunaan telepon seluler, KNKT juga menyimpulkan kalau teknisi trainset 29 ini menurunkan sun visor alias penghalang cahaya matahari yang berada di kabin masinis sebelum terjadinya tabrakan. Sehingga, pandangan teknisi tersebut ke depan menjadi terhalang.
Saat investigasi, tim KNKT melakukan simulasi penggunaan sun visor. Hasilnya, teknisi yang berada di kabin masinis hanya bisa melihat bagian bawah saja, dari objek yang berada 8 meter di depannya. "Ini sangat menghalangi pandangan bebas teknisi," kata dia.
Akibatnya, trainset 29 terus berjalan dengan kondisi sun visor sebagian tertutup. Trainset ini melaju dengan kecepatan 50 kilometer per jam menabrak trainset 20.
Menurut Suprapto, memang ada Keputusan Menteri Perhubungan atau Kepmenhub Nomor 765 Tahun 2017 yang memperbolehkan penggunaan sun visor di LRT untuk melindungi peralatan dari radiasi. "Tapi penggunaannya tidak dalam kondisi (LRT) dioperasikan, kalau saat berhenti boleh," kata dia.
BACA: LRT Jabodebek Akan Beroperasi pada Agustus 2022 Tanpa Masinis