TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional alias Bappenas Bambang Brodjonegoro memastikan pembangunan Ibu Kota baru nantinya bukan untuk menciptakan Jakarta yang kedua. "Hanya menjadi pusat pemerintahan dan bisnis yang mendukung pusat pemerintahan," ujar Bambang di kantornya, Selasa, 30 April 2019.
Baca: Pilih Ibu Kota di Luar Jawa, JK: Ada 10 Syarat Harus Dipenuhi
Sehingga, kalau ada yang mengkritik bahwa kota anyar itu akan sepi, Bambang memastikan kota tersebut memang tidak didesain seperti Jakarta. Penduduk di kota baru itu direncanakan hanya sekitar 900 ribu hingga 1,5 juta jiwa. "Contohnya Washington DC (ibu kota Amerika Serikat) apakah memang untuk menyaingi New York? Tidak. Washington memang jauh di bawah New York sebagai pusat bisnis, sama seperti ide pemerintah sekarang."
Begitu pula dengan Brasilia yang merupakan Ibu Kota baru dari Brasil juga berpenduduk di bawah dua kota besar, yakni Rio de Janerio maupun Sao Paulo. Bambang pun berpendapat bahwa tidak tepat kalau Brasilia disebut sebagai kota yang sepi dan gagal. Sebab, tujuan dari ibu kota anyar itu memang bukan menyaingi dua kota utama tersebut. "Brasilia kota terbesar ketiga di Brasil," ujarnya. "Di sana sudah ada 2,5 juta penduduk, sehingga pemerataan ekonominya juga terjadi."
Karena itu, Bambang menegaskan Ibu Kota baru Indonesia nantinya tidak didesain untuk sepuluh juta penduduk layaknya jakarta. Bahkan, berdasarkan hitungannya, kota anyar itu pun belum tentu masuk ke dalam sepuluh besar kota dengan penduduk terbanyak di Indonesia.
Wacana pemindahan Ibu Kota kembali menghangat setelah Presiden Joko Widodo menggelar Rapat Terbatas Kabinet guna membicarakan isu tersebut. Berdasarkan rapat itu, Jokowi telah memberi arahan untuk mengambil alternatif pemindahan ibu kota ke luar Jawa. Di samping itu, wilayah tersebut harus berada di tengah Indonesia untuk memudahkan akses dari seluruh provinsi, serta harus dapat mendorong pemerataan antara wilayah barat dan timur Indonesia.
Adapun pemindahan Ibu Kota pemerintahan dinilai perlu lantaran enam alasan utama. Pertama, untuk mengurangi beban Jakarta dan kota penyangganya. Kedua, mendorong pemerataan ke wilayah Indonesia bagian Timur. Ketiga, mengubah pola pikir pembangunan dari Jawa sentris menjadi Indonesia sentris.
Alasan keempat adalah untuk memiliki Ibu Kota negara yang merepresentasikan identitas bangsa, kebinekaan dan penghayatan terhadap Pancasila. Kelima, meningkatkan pengelolaan pemerintahan pusat yang efisien dan efektif. Dan keenam, memiliki Ibukota yang menerapkan konsep smart, green, and beautiful city untuk meningkatkan kemampuan daya saing secara regional maupun internasional.
Pemerintah mendesain Ibu Kota baru untuk mendorong pemerataan ke luar Jawa, karena itu, Presiden lebih memilih opsi ketiga, memindahkan ke luar Jawa, untuk pemerataan ekonomi dan besar Ibu Kotanya pun akan dikendalikan,” ujar kata Bambang.
Mengenai kebutuhan waktu pemindahan Ibu Kota, Bambang mengatakan pemerintah telah menyiapkan dua opsi proses, yakni lima tahun dan sepuluh tahun. Keduanya tetap akan melalui proses perencanaan, pembuatan desain detail, hingga implementasi. Di samping itu, tanah juga sudah mesti tersedia untuk memastikan kegiatan bisa berlangsung.
Baca: Pemindahan Ibu Kota, Bappenas: Pilih yang Risiko Bencana Kecil
"Tapi kalau lima tahun pekerjaannya akan lebih cepat, tentu ukuran aktifitasnya akan lebih besar, otomatis kebutuhan pembiayaannya jadi besar," kata Bambang. Kebutuhan pembiayaan nantinya tidak hanya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun juga bisa bekerjasama dengan swasta dan Badan Usaha Milik Negara. Pemerintah hanya mengerjakan infrastruktur dasar Ibu Kota baru yang tidak bisa dikerjakan pihak lain.