TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah telah resmi mencairkan dana talangan senilai Rp 4,9 triliun untuk membantu menutup defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan. Alokasi tersebut berasal dari pos dana cadangan program jaminan kesehatan nasional (JKN). “Dana tersebut sudah dicairkan sekaligus hari Senin ini,” ujar Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Marwanto Harjowiryono, kepada Tempo, Senin 24 September 2018.
Baca: Sandiaga Soroti Utang BPJS Kesehatan Rp 300 M ke RS Muhammadiyah
Hal tersebut dibenarkan oleh Juru Bicara BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma’ruf. “Benar sudah dicarikan dan sudah masuk ke rekening dana jaminan sosial BPJS, langsung Rp 4,9 triliun,” katanya. Dia memastikan lembaganya pun akan segera menyalurkan dana tersebut untuk membayar tunggakan klaim ke fasilitas kesehatan (faskes) atau rumah sakit. “Kami tidak akan menundanya, kalau pun butuh waktu ya hanya karena masalah teknis administrasi saja seperti urusan perbankan,” ujarnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berujar ke depan Kementerian Keuangan juga akan bekerja sama dengan kementerian/lembaga lain untuk keberlangsungan operasional BPJS Kesehatan.”Kami akan melihat bagaimana agar BPJS bisa sustainable ke depannya,” katanya. Sri Mulyani berujar Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.02/2018 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Program Jaminan Kesehatan juga telah rampung.
Dengan demikian BPJS Kesehatan pun dapat mulai menempuh langkah-langkah untuk mengendalikan defisit yang nilainya tahun ini diperkirakan mencapai Rp 16,5 triliun. “Dirut dari BPJS Kesehatan sudah melakukan kontrak kinerja berdasarkan amanat dari Peraturan Presiden (PP), sehingga bisa meng-address isu-isu yang ada dalam peraturan tersebut,” ucapnya.
Sementara itu, BPJS Kesehatan juga dihadapi persoalan tahunan lain yaitu besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai layanan penyakit katastropik atau kronis. Hingga Agustus 2018, total biaya yang harus dikeluarkan untuk layanan penyakit katastropik mencapai Rp 12,82 triliun atau 21,07 persen dari total biaya pelayanan kesehatan keseluruhan. Pada rapat dengan dewan pekan lalu, terdapat usulan untuk memberikan subsidi khusus bagi penyakit katastropik.
Sehingga, diharapkan dapat membantu meringankan beban BPJS Kesehatan. “Ide itu muncul bercermin dari saat Askes dulu untuk pembiayaan katastropik memang ada anggaran tersendiri,” kata Juru Bicara BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma’ruf. Namun, menurut Iqbal, dengan adanya program JKN saat ini kebutuhan anggaran dapat diintegrasikan atau tanpa memerlukan skema sendiri untuk jenis penyakit tertentu. “Tinggal masukkan saja ke pendanaan program, karena pengelolaannya tetap harus di dalam.”
Koordinator Advokasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Watch Timboel Siregar mengatakan untuk mengatasi persoalan mahalnya biaya pelayanan katastropik yang harus ditanggung, BPJS Kesehatan perlu lebih kreatif lagi dalam mencari alernatif sumber pendanaan. “Kalau dirasa tinggi ya cari sumber pendanaan lain yang siap membantu kekurangannya, sehingga tidak memberatkan, misalnya dengan kerja sama dengan pemerintah daerah melalui skema correlation of benefit, atau CSR dengan perusahaan farmasi misalnya,” ucapnya.
Selain itu, BPJS Kesehatan juga diharapkan tak hanya berfokus pada upaya kuratif, namun juga mulai memusatkan perhatian pada upaya preventif dan promotif. Menurut catatan BPJS Watch, alokasi dana untuk kegiatan preventif dan promotif kesehatan cenderung rendah, tak sampai Rp 200 miliar. “Realisasinya juga rendah, terakhir baru dipakai Rp 72 miliar, padahal kalau bicara penyakit apapun tidak bisa dilepaskan dari upaya pencegahan, khususnya yang jenis katastropik,” katanya.
HENDARTYO HANGGI | CAESAR AKBAR