TEMPO.CO, Jakarta - Upaya pemerintah menjaga stabilitas rupiah melalui pengumuman strategi mengurangi defisit transaksi berjalan atau CAD mulai membuahkan hasil. Rupiah mulai bergerak di level Rp 14.890 menjauhi level psikologis Rp 15.000.
Baca: Efek Rupiah Melemah, Impor Porsche Hingga Ferrari Bakal Distop
Kepala Pusat Kajian Ekonomi Makro Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mengungkapkan hal ini adalah dampak pengumuman kebijakan usaha pemerintah guna mengurangi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). "Efek terbesarnya adalah di faktor pengumumannya bersamaan dengan kebijakan-kebijakan jangka pendek lainnya seperti tarif impor, ini jelas membantu rupiah sebagai sentimen positif di pasar," ungkapnya, Jumat, 7 September 2018.
Di sisi lain, Febrio mengingatkan suku bunga Amerika Serikat masih akan menguat dua kali lagi. Artinya, sentimen negatif terhadap kurs masih belum akan usai dalam waktu dekat, bahkan, di tahun depan di prediksi suku bunga The Fed akan naik 3 kali lagi.
"Biasanya setiap kenaikan itu akan berdampak sekitar 1 persen depresiasi Rupiah. Mata uang negara emerging lainnya ada yang lebih besar ada yang lebih kecil terkena dampaknya," ujarnya.
Jika prediksinya benar, dengan masih adanya 2 kali lagi kenaikan suku bunga AS, rupiah masih mungkin terdepresiasi sebesar 2 persen sejak awal tahun ini. Dengan demikian, lanjutnya, pemerintah perlu responsif terhadap segala kemungkinan yang terjadi terhadap pelemahan rupiah ini.
"Jadi memang trennya masih akan ke arah sana, yang dilakukan pemerintah dan BI adalah menjaga stabilitasnya agar pelemahan ini terjadi secara agak mulus tanpa gejolak yang terlalu besar. Minggu ini menurut kami termasuk gejolak yang agak besar, makanya pemerintah memang harus cukup responsif," jelas Febrio.
Dia belum dapat memprediksi seberapa kuat dampaknya terhadap penguatan rupiah. "Secara aktual nanti memang agak sulit memperkirakan dampaknya secara spesifik," katanya.