TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah sedang berupaya mengurangi impor barang modal dan barang perantara. Hal tersebut bertunuan untuk memperkuat struktur industri terutama dari ekspor.
BACA: Kemiskinan 9,82 Persen, Sri Mulyani: First Time in History
"Kami memiliki tugas untuk makin memperkuat struktur industri kita, terutama dari ekspor dan terutama mengurangi impor barang modal dan barang perantara," kata Sri Mulyani di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa, 17 Juli 2018.
Sri Mulyani juga menanggapi soal neraca perdagangan yang surplus pada Juni 2018. Sri Mulyani mengatakan dari sisi perekonomian kontribusi oleh ekspor dan impor akan menimbulkan dampak terhadap komposisi pertumbuhan sendiri, maupun neraca pembayar.
Sri Mulyani melihat pertumuhan ekspor secara keseluruhan satu semester sampai Juni cukup tinggi dan impor tidak sekuat Mei.
Mungkin beberapa kebutuhan di Mei kemarin kami deteksi ada faktor lebaran, keinginan untuk mengimpor lebih cepat dan faktor impor yang sifatnya satu kali, seperti peralatan modal di militer untuk meningatkan cukup tinggi," kata Sri Mulyani.
BACA: Turunkan PPh Final, Sri Mulyani Berharap UMKM Patuh Bayar Pajak
Secara umum, menurut Sri Mulyani pemerintah akan tetap konsentrasi dengan melihat tren pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sri Mulyani mengatakan instrumen APBN ke depan akan digunakan secara lebih aktif unutk bisa membantu tumbuhnya industri manufaktur di Indonesia yang bisa meningkatkan ekspor dan mengurangi impor.
"Industrinya apa? Beberapa industri mungkin membutuhkan support dalam bentuk pajak, logistik, bea masuk atau sisi logistik, atau dari sisi kebijakan perdagangan ini yang akan kami coba koordinasikan," kata Sri Mulyani.
Pada 16 Juli 2018, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto. Mengatakan neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2018 surplus US$ 1,74 miliar atau setara dengan Rp 25 triliun. Kondisi itu dipicu surplus sektor non migas US$ 2,14 miliar. "Namun sektor migas defisit US$ 0,39 miliar," kata Suhariyanto di Kantor BPS.
BACA:Sri Mulyani Ungkap 3 Tren yang Pengaruhi Perekonomian Dunia
Jika diambil rata-rata sejak Januari-Juni 2018, Suhariyanto menuturkan neraca perdagangan Indonesia masih dalam kondisi defisit. Surplus hanya terjadi pada Maret dan Juni 2018.
Suhariyanto menjelaskan defisit pada Januari-Juni 2018 berjumlah US$ 1,02 miliar. Hal tersebut merupakan selisih dari nilai ekspor US$ 88,01 miliar dan impor US$ 89,04 miliar.
Peningkatan ekspor migas, kata Suhariyanto, disebabkan meningkatnya nilai ekspor minyak 4,22 persen menjadi US$ 544,2 juta. Kemudian ekspor gas 15,45 persen menjadi US$ 1,05 miliar.
Suhariyanto menjelaskan, secara kumulatif nilai ekspor Indonesia periode Januari-Juni 2018 mencapai US$ 88,02 miliar. Dia mengatakan nilai ekspor itu naik 10,03 persen dibanding periode yang sama pada 2017.
Namun, ujar Suhariyanto, nilai tersebut menurun 19,80 persen, jika dibandingkan ekspor pada Mei 2018. "Yaitu dari US$ 16, 2 miliar menjadi US$ 12,9 miliar," tutur dia dalam penjelasan soal neraca perdagangan Indonesia.
Baca berita tentang Sri Mulyani di Tempo.co.
CHITRA PARAMAESTI