TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Perkumpulan Pengemudi Transportasi dan Jasa Daring Indonesia (PPT JDI) Igun Wicaksono mengatakan, saat ini, pengemudi ojek online menjadi korban perang tarif antara Grab dan Go-Jek.
Saat ini, Igun melanjutkan, yang terjadi adalah kedua aplikator yang saling berlomba menyajikan tarif paling murah. Dampaknya, Igun mengklaim penghasilan para pengemudi saat ini jauh berkurang.
"Otomatis, semakin rendah tarif yang ditetapkan aplikator, maka pendapatan kami semakin berkurang. Sangat tidak memadai saat inilah," tuturnya saat dihubungi Rabu, 11 April 2018.
Bahkan Igun juga mengklaim banyak pengemudi yang kesusahan untuk sekadar menservis sepeda motor. Sebab, pendapatan mereka sudah habis untuk biaya operasional di jalan.
Baca juga: KPPU Pantau Bisnis Grab Pasca Akuisisi Uber
Para pengemudi ojek online menuntut kenaikan tarif, dari semula Rp 1.600 per kilometer menjadi Rp 4.000 per kilometer sebagai batas atas. Sementara batas bawahnya Rp 3.000. Hal tersebut, kata Igun, merupakan saran dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha saat mediasi dengan pengemudi ojek online pada Maret lalu.
Igun menuturkan kenaikan tarif yang mereka minta tidak seluruhnya dibebankan kepada pelanggan. Ia meminta tetap diberlakukan harga normal kepada penumpang, sementara selisihnya disubsidi aplikator.
"Aplikator kan dapat profit tidak dari tarif perjalanan saja. Dari download data saja, mereka sudah dapat rupiah. Ya, subsidilah kami ini para pengemudi," tuturnya.
Persoalan tarif jasa ojek online bermula dari aksi unjuk rasa pengemudi Go-jek dan Grab di depan Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa, 27 Maret 2018. Mereka menuntut tarif ojek online Rp 1.600 per kilometer dinaikkan menjadi Rp 4.000 per kilometer sebagai batas atas, sementara batas bawahnya Rp 3.000.
Mereka berencana kembali melakukan aksi besar-besaran secara serentak di seluruh Indonesia pada Senin, 23 April mendatang. Sebanyak 100 ribu orang pengemudi ojek online ditargetkan berpartisipasi dalam demo yang akan digelar di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat itu.
Kecilnya pendapatan pengemudi dikuatkan pula dengan penelitian yang dilakukan lembaga Prakarsa. Penelitian yang dilakukan pada 2017 itu menyatakan pengemudi ojek daring atau online memperoleh pendapatan bersih yang tidak sesuai dengan iklan perusahaan penyedia aplikasi.
Peneliti Prakarsa, Eka Afrina, mengatakan 43 persen pendapatan kotor pengemudi ojek online Rp 2-4 juta per bulan. "Jika melihat pendapatan bersihnya, sebagian besar turun 50 persen menjadi Rp 1-2 juta per bulan," ucapnya di Jakarta, Selasa, 10 April 2018.
Eka menjelaskan, pengeluaran operasional harus ditanggung sendiri pengemudi Grab ataupun Go-Jek. Dalam sebulan, mereka mengeluarkan Rp 856 ribu. Bukan hanya itu, pengemudi juga harus memiliki kendaraan sendiri yang digunakan untuk beroperasi. Nilai cicilan belum masuk dalam hitungan pengeluaran sebulan.
Yang menjadi sorotan, kini tren pendapatan ojek daring sedang mengalami penurunan dalam beberapa bulan terakhir karena ketatnya persaingan antar-pengemudi. "Jika disamakan dengan rata-rata upah minimum di Jakarta dan Surabaya, bisa dikatakan pendapatan ojek daring di bawah standar," ujar Eka, seperti dikutip dari Bisnis.com.