TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara PT PLN (Persero), Made Suprateka, menyatakan akan melakukan assessment untuk mengevaluasi kelanjutan proyek yang mangkrak. Hal ini disampaikan Made terkait masalah pemborosan proyek energi yang ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sedangkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan akan melakukan langkah-langkah perbaikan, seperti mengkaji pencatatan data/informasi kapasitas nasional dan menyurati KKKS agar memenuhi kewajiban penyampaian laporan. SKK Migas juga menyatakan penunjukan konsultan dalam rangka evaluasi dan hasilnya digunakan sebagai data untuk pengambilan keputusan.
Baca: BPK Endus Pemborosan di Proyek Energi
Sebelumnya, BPK menemukan masalah dalam pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt (MW) serta pengelolaan rantai suplai minyak dan gas. Menurut Ketua BPK Harry Azhar Azis, masalah ini muncul akibat tidak ada perencanaan yang tepat dan pengendalian internal yang memadai, baik oleh PLN maupun SKK Migas.
Khusus untuk PLN, menurut Harry, masalah ini menimbulkan pengeluaran Rp 609,54 miliar dan US$ 78,69 juta untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
"Yang tidak memberikan manfaat," kata Harry saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis, 6 April 2017. PLN, Harry menambahkan, juga belum mengenakan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pembangunan PLTU sebesar Rp 704,87 miliar dan US$ 102,26 juta.
Simak: DJP Klarifikasi Isu Validasi Harta untuk Penjualan Properti
BPK, yang memeriksa proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10 ribu MW periode 2006-2015, menyimpulkan PLN belum mampu merencanakan secara tepat dan belum bisa menjamin kesesuaian jalannya proyek dengan ketentuan serta kebutuhan teknis yang ditetapkan.
Harry mengatakan kasus yang mendapat perhatian BPK ialah pembangunan PLTU Tanjung Balai Karimun, PLTU Ambon, PLTU 2 Nusa Tenggara Barat di Lombok, serta PLTU Kalimantan Barat 2 yang mangkrak. Ada juga proyek PLTU Kalbar 1 yang berpotensi terbengkalai.
Adapun untuk SKK Migas, BPK menyimpulkan pengelolaan rantai suplai dan pelaksanaan pengadaan barang/jasa oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) belum didukung sistem pengendalian internal yang memadai serta belum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan.
Simak: Maret, Porsi Pendapatan Masyarakat untuk Konsumsi Turun
BPK pun menemukan pemborosan uang negara senilai Rp 3,63 miliar akibat biaya review proyek EPC-4 oleh konsultan independen serta potensi kemahalan harga atas sewa kapal penunjang operasi senilai US$ 41,89 juta.
Untuk menyelesaikan masalah di SKK Migas, BPK meminta Ketua Komisi Pengawas SKK Migas memberikan surat peringatan kepada pimpinan untuk lebih cermat memperhatikan ketentuan mengenai pengadaan barang dan jasa. BPK juga meminta Kepala SKK Migas memperingatkan pimpinan KKKS menyampaikan laporan berkala serta tidak membebankan biaya konsultan ke dalam biaya operasional.
Kepada Direksi PLN, BPK merekomendasikan untuk mengkaji perencanaan, pelaksanaan, serta operasi proyek PLTU 10 ribu MW. Direksi juga diminta mempertanggungjawabkan biaya tambahan untuk semua PLTU 10 ribu MW kepada pemegang saham serta memberi sanksi kepada para pelaksana kegiatan dan pejabat bertanggung jawab yang kurang cermat.
AHMAD FAIZ | ROBBY IRFANY | FERY FIRMANSYAH