TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU) akan mendatangkan saksi ahli ke persidangan kasus dugaan kartel sepeda motor matik (skutik) 110-125 CC. Kehadiran saksi ahli yang melibatkan dua pabrikan itu dibutuhkan untuk menghitung berapa jumlah nilai kerugian yang dialami pengguna skutik.
“Nah, (kerugian) ini kami belum hitung karena ini bergantung pada proses persidangan, nanti kami akan menghadirkan ahli yang bakal menunjukkan itu,” kata Ketua KPPU Muhammad Syarkawi Rauf di Bursa Efek Indonesia, Kamis, 21 Juli 2016.
Kasus tersebut melibatkan dua pabrikan berstatus terlapor PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) dan PT Astra Honda Motor (AHM). Dua perusahaan itu diduga melakukan kecurangan dalam persekongkolan harga.
Syarkawi menuturkan, untuk memproduksi satu unit skutik dibutuhkan biaya produksi hanya sekitar Rp 7,5-8,5 juta. Jika ditambahkan dengan ongkos lain, harga sepeda motor itu cukup untuk dijual sekitar Rp 12,6 juta per unit.
Namun, di pasaran, sepeda motor keluaran Yamaha dan Honda bisa mencapai lebih dari Rp 15 juta. Apabila dikalikan dengan jumlah konsumen dari dua produsen tersebut, tentu omzet yang mereka peroleh sangat besar.
Pemberian harga satu unit sepeda motor di atas wajar, kata Syarkawi, hanya bisa dilakukan perusahaan yang memonopoli. “Ini yang akan kami buktikan apakah harga yang sangat tinggi tersebut mengindikasikan pelaku atau praktek persaingan yang tidak sehat,” tuturnya.
Saat ini, kata Syarkawi, pangsa pasar skutik dikuasai (Astra Honda Motor) AHM yang meraup lebih dari 67 persen pasar. Sedangkan Yamaha menguasai lebih dari 29 persen. Jika dugaan kartel terbukti, dua perusahaan itu menguasai hampir 97 persen di pasaran. Sedangkan sisanya, sekitar 2,5 persen, dikuasai oleh produsen lain, seperti PT Suzuki Indomobil Motor (Suzuki) dan PT TVS Motor Company (TVS).
Dalam sidang kartel lanjutan yang akan digelar, Syarkawi mengatakan tidak akan membawa saksi dari produsen lain. “Kami enggak akan melihat ke produsen lain. Sebab, mereka hanya menguasai kurang dari 2,5 persen sehingga unsur persekongkolan agak sulit.”
DESTRIANITA