Bhima berpendapat jika kondisi ekonomi negara sedang kurang bagus, maka seharusnya APBN mampu menstimulus perekonomian lewat bentuk insentif atau subsidi, bukan justru digunakan untuk belanja badan baru. Pasalnya, negara sedang menghadapi berbagai masalah ekonomi mulai dari rasio pajak rendah hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Prabowo sempat menyatakan optimismenya bisa menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8 persen. “Ini (penambahan kementerian atau badan) justru akan menghambat pencapaian pertumbuhan ekonomi Prabowo yang ambisius sampai lima tahun ke depan,” kata Bhima.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang stagnan berkisar pada angka 5 persen, berdasarkan data Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Rasio pajak negara dari 1972-2023 cenderung menurun dan rendah, terakhir pada angka 10 persen pada 2023, menurut data Kementerian Keuangan. Pajak penerimaan negara pun hanya 10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dengan target hanya tercapai pada 2021, 2022, dan 2023.
Rasio utang terhadap PDB sekitar 38 persen tahun ini, menurut data Kementerian Keuangan, dengan kenaikan tiga kali lipat di masa pemerintahan Presiden Jokowi.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti pun menilai investasi sedang tidak ramah pada penciptaan lapangan pekerjaan. Esther mengatakan hal itu dalam diskusi publik bertajuk “Moneter dan Fiskal Ketat, Daya Beli Melarat” pada 12 September 2024.
Pilihan Editor: Banyak Disebut Lebih Baik dari Susu Sapi dalam Program Makan Bergizi Gratis, Apa Itu Susu Ikan ?