Belanja publik terbesar berikutnya di era Presiden Jokowi adalah belanja barang Rp 3.674 triliun yakni 21,1 persen. Lalu ada pembayaran bunga utang Rp 3.067 triliun atau 17.7 persen. Secara keseluruhan, belanja terikat di sepanjang era Presiden Jokowi mencapai Rp 10.448 triliun, atau sekitar 60 persen dari total belanja pemerintah pusat. “Dengan kata lain, hanya tersisa sekitar 40 persen belanja pemerintah pusat untuk belanja infrastruktur dan sosial,” kata dia lagi.
Ruang fiskal tersisa bukan untuk pembangunan infrastruktur, namun untuk subsidi energi dan kompensasi energi (belanja lain-lain). Di era Presiden Jokowi, alokasi untuk subsidi energi dan belanja lain-lain diperkirakan mencapai Rp 2.774 triliun, sekitar 16 persen dari total belanja pemerintah pusat.
Belanja untuk pembangunan infrastruktur, yaitu belanja modal, di sepanjang era Presiden Jokowi hanya mendapat alokasi di kisaran Rp 2.130 triliun atau 12,3 persen. Alokasi belanja modal, subsidi dan bantuan sosial selalu merupakan residual, bahkan dengan proporsi yang terus menurun.
Penanda Kerentanan Utang Negara
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto, mengatakan dalam melihat utang Pemerintah, semestinya tidak hanya dilihat nominalnya, tetapi diletakkan pada konteksnya. Pemerintah melakukan utang untuk membiayai defisit APBN dalam rangka pemenuhan belanja-belanja prioritas. “Untuk kesejahteraan masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang kuat, seimbang, dan berkesinambungan,” kata dia kepada Tempo, Ahad, 28 Juli 2024.
Dalam periode pertama pemerintahan Jokowi, yakni 2015-2019, ia mengatakann defisit APBN terjaga rendah. Realisasi defisit APBN di bawah 3 persen terhadap PDB. Kala itu anggaran digunakan untuk belanja prioritas seperti infrastruktur, perlindungan sosial, dan sumber daya manusia seperti pendidikan dan kesehatan meningkat signifikan. “Belanja yang lebih berkualitas dan targeted ini tentunya mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional,” ujarnya.
Sejalan dengan defisit APBN yang terjaga rendah ini, rasio utang terhadap PDB juga menurut dia hanya tumbuh moderat, yakni 27,46 persen pada 2015; 28,34 persen untuk 2016; 29,40 persen 2017; 30,10 persen 2018; dan 30,23 persen pada 2019.
Baca selengkapnya: Ambisi Kereta Cepat Berujung Beban Negara
Pelebaran defisit APBN dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 diakui Suminto berimplikasi pada bertambahnya utang Pemerintah. Rasio utang terhadap PDB pada 2019 masih 30,23 persen, meningkat tajam menjadi 39,39 persen pada 2020 dan 40,74 persen pada 2021.
Adapun debt to GDP ratio per Juni 2024 adalah sebesar 39,13 persen. Meskipun debt to GDP ratio pasca pandemi mengalami kenaikan pada pandemi, namun masih lebih baik dibandingkan banyak negara emerging markets. Bahkan menurut dia, Indonesia masih tergolong rendah.
Level rasio utang pemerintah terhadap PDB saat ini juga dianggap terhitung moderat dibandingkan beberapa negara. Ia mencontohkan data World Economic Outlook IMF pada April 2024, negara seperti Brasil, India, Thailand, dan Filipina masing-masing sebesar 86,7 persen, 82,5 persen, 64,5 persen, dan 56,9 persen terhadap PDB.
“Kami memahami rasio utang terhadap PDB bukan merupakan indikator tunggal dalam melihat utang Pemerintah. Indikator-indikator risiko portofolio utang juga penting untuk dilihat, antara lain terkait risiko nilai tukar, suku bunga, dan pembiayaan kembali (refinancing), “ kata dia.
Suminto melanjutkan, risiko portofolio utang juga dikelola dengan baik. Hingga Juni 2024, Average Time to Maturity atau rata rata utang jatuh tempo cukup panjang hingga 8 tahun. Ia juga mengakui nominal utang yang besar berdampak pada kenaikan belanja bunga, namun menjamin pemerintah dapat mengelola biaya dan risikonya.
Adapun Yusuf Wibisono, mengatakan rasio utang terhadap PDB dalam batas aman merupakan argumen standar yang selalu diungkapkan. Berdasarkan undang-undang Keuangan Negara yang diadopsi dari konsensus internasional, batas aman rasio utang ditetapkan 60 persen terhadap PDB.
Selanjutnya: Dengan indikator tersebut, Indonesia dikatakan termasuk ...