Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Aneka Tenun Plastik Indonesia Totok Wibowo mengatakan, kebutuhan bahan baku polipropilena sekitar 850 ribu ton. Sementara dari kapasitas industri hulu sekitar 750 ribu ton, dan utilisasi hanya sekitar 530 ribu ton. "(Defisit) sekitar 300 ribu ton, mau tidak mau harus impor," kata Totok di Departemen Perindustrian, Jakarta, Selasa (28/7).
Ketua Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo) Tjokro Gunawan mengeluhkan hal yang sama. Tjokro menilai defisitnya bahan baku ini menimbulkan persaingan tidak sehat antara produsen hilir--memproduksi antara lain kemasan, bungkus permen dan makanan, botol, dan gelas minuman--karena harus berebut bahan baku.
Selain itu, dia menambahkan, kondisi tersebut menyebabkan penjual seolah bisa memberi jatah kepada pembeli. "Seharusnya pembeli adalah raja. Tapi ini penjual menjadi raja, karena dia yang menentukan jatah," kata Tjokro.
Tjokro juga mengeluhkan produsen hulu yang tidak menambah kapasitas produksi untuk mengatasi defisit bahan baku. Kondisi itu, kata dia, juga menyebabkan harga jual menjadi tidak kompetitif. Produsen hilir plastik juga keberatan atas berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 19 Tahun 2009 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Produk-Produk Tertentu.
Tjokro menjelaskan, peraturan itu otomatis menyebabkan produsen hilir sulit memperoleh bahan baku dengan harga kompetitif. Sebab tarif bea masuk impor bahan baku dikenai biaya sepuluh persen. Di sisi lain, produsen hulu tidak memproduksi sesuai dengan kebutuhan.
Menurut dia, produsen hilir plastik tidak dilibatkan dalam pembahasan peraturan tersebut. Pembahasan hanya melibatkan produsen hulu. Atas keberatan itu, produsen hilir plastik telah menyampaikan surat keberatan kepada Menteri Keuangan. "Kepentingan kami belum terwakili," ujar Tjokro.
NIEKE INDRIETTA