TEMPO.CO, Jakarta - Perpanjangan subsidi bantuan sosial atau bansos yang disalurkan oleh Presiden Joko Widodo alias Jokowi, diprediksi menaikkan defisit anggaran negara. Hal ini berdasarkan dokumen prospek ekonomi Indonesia berjudul “Unleashing Indonesia’s Business Potential - June 2024”, yang dirilis oleh World Bank atau Bank Dunia.
Publikasi itu menyebutkan, perpanjangan program bantuan sosial yang sudah ada akan meningkatkan belanja subsidi, akibat depresiasi mata uang yang saat ini sedang terjadi. Selain itu, pembayaran bunga juga akan menjadi lebih tinggi.
“Semuanya diperkirakan akan mendorong defisit fiskal menjadi 2,5 persen dari PDB (produk domestik bruto) pada akhir 2024,” bunyi analisis Bank Dunia, dikutip Rabu, 26 Juni 2024.
Seperti diketahui, Indonesia memiliki berbagai jenis bantuan sosial yang dibagikan kepada masyarakat membutuhkan. Salah satunya adalah Program Keluarga Harapan (PKH) yang dicairkan setiap tiga bulan sekali dengan besaran Rp 900 ribu hingga Rp 3 juta per kategori.
Ada juga Bantuan Non Tunai atau Kartu Sembako yang dibagikan setiap dua bulan dengan besaran Rp 200 per bulan. Kemudian, ada Bantuan Pangan Beras dengan besaran 10 kilogram beras per bulan.
Selain itu, ada juga Bantuan Langsung Tunai (BLT) dengan besaran Rp 200 per bulan. Belum lagi, bantuan pendidikan berupa Program Indonesia Pintar (PIP) yang disalurkan setiap enam bulan sekali.
Setiap bantuan sosial ini disalurkan kepada lebih dari 18 juta keluarga penerima manfaat (KPM) di Indonesia. Pemerintah juga memberikan Bantuan Iuran Penerima Program Jaminan Kesehatan Nasional bagi 96,7 juta peserta.
Banyaknya jenis bansos yang disalurkan pemerintah membuat anggaran bantuan sosial ini mengalami lonjakan yang tajam pada awal 2024. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, per 29 Februari 2024 realisasi anggaran bansos mencapai Rp22,5 triliun.