TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru merealisasikan bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 13,1 persen pada 2023. Angka tersebut masih jauh dari target 23 persen pada 2025.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan pemerintah mesti bisa memanfaatkan sisa waktu dua tahun mengejar target tersebut.
"Masih ada waktu dua tahun. Tapi perlu ada komitmen politik, dukungan PLN, dan langkah-langkah extraordinary," kata Fabby dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 16 Januari 2024.
Menurut Fabby, rendahnya pencapaian bauran energi terbarukan ini bersifat sistemik. Faktor penyebabnya juga beragam. Seperti keterlambatan lelang pembangkit energi terbarukan oleh PLN sejak 2019, kendala eksekusi proyek-proyek yang sudah berkontrak karena keterbatasan pendanaan (bank-ability), kenaikan tingkat suku bunga keuangan dalam dua tahun terakhir, serta pandemi COVID-19.
Fabby menuturkan proyek energi terbarukan, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTA) Batang Toru, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Baturaden dan Rajabasa, yang mundur waktu penyelesaiannya disinyalir berkontribusi pada rendahnya bauran energi terbarukan pada 2023. Begitu pula dengan proses revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 yang berlarut-larut dan menghambat implementasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap.
"Walhasil, proyek strategis nasional (PSN) PLTS atap 3,6 GW tidak berjalan," ujarnya.
Pemerintah sebetulnya punya rencana mengejar pembangunan pembangkit energi baru terbarukan skala besar, di antaranya PLTS terapung dan PLTB. Peta jalan PLTS atap pun telah disiapkan dengan target 2023 sebesar 900 MW, dan 2024 sebesar 1800 MW.
Hanya saja, menurut Fabby, regulasi PLTS atap yang tak kunjung selesai membuat adopsi PLTS atap turun di sektor residensial dan bisnis, masing-masing sebesar 20 persen dan 6 persen. Akibatnya, berdasarkan analisis IESR, pada kuartal kedua 2023, kapasitas terpasang dari PLTS atap kumulatif hanya mencapai 100 MW.
"Capaian itu jauh di bawah target yang seharusnya mencapai 900 MW pada tahun 2023," ujar Fabby.
Oleh karena itu, kata Fabby, di sisa waktu dua tahun ini pemerintah mesti mempercepat eksekusi proyek yang sudah kontrak, khususnya dari pengembang swasta (Independent Power Producer/ IPP). Selain itu, pemerintah harus mendesak PLN melelang proyek pembangkit skala besar secara reguler selama setahun ini dan menyederhanakan negosiasi Perjanjian Jual Beli Listrik atau Power Purchase Agreement (PPA), sehingga proyek-proyek tersebut bisa dieksekusi tahun ini.
"Untuk mengejar target 10,6 GW dalam dua tahun, pemerintah harus mengandalkan PLTS terapung, PLTS ground mounted (di atas tanah) dan ditambah dengan 3,6 GW target kapasitas terpasang PLTS atap," kata Fabby. "Oleh karena itu, implementasi revisi Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tidak boleh lagi tertunda."
Riri Rahayu
Pilihan Editor: Bulan Depan, PLN Operasikan Stasiun Pengisian Hidrogen untuk Kendaraan