TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim Amerika Serikat mendukung Indonesia untuk memprotes kebijakan Undang-undang Anti Deforestasi atau The European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR). Pemerintah menilai kebijakan tersebut dapat merugikan komoditas perkebunan dan kehutanan di Indonesia, salah satunya kelapa sawit.
“Amerika bipartisan menentang EUDR," ujar Airlangga dalam keterangan tertulis, dikutip pada Sabtu, 27 April 2024.
Beberapa waktu lalu, kata dia, baik kelompok Republikan maupun Demokrat di Amerika Serikat juga mempertanyakan EUDR. Kelompok bipartisan baik dari Partai Republik dan Demokrat menganggap EUDR tidak adil bagi para petani yang akan memasuki pasar Eropa.
Menurut Airlangga, protes terhadap EUDR diinisiasi oleh Indonesia dan Malaysia--sebagai dua produsen sawit terbesar dunia. Protes itu kata Airlangga terus mendapatkan dukungan dari like-minded developing countries .
The Like Minded-Group of Developing Countries adalah kelompok 17 negara berkembang yang mengorganisir diri mereka sebagai blok negosiator di organisasi internasional seperti PBB dan Organisasi Perdagangan Dunia. Mereka mewakili lebih dari 50 persen populasi dunia. Selain Indonesia, anggota kelompok ini adalah Argentina, Brazil, Bolivia, Kolombia, Republik Dominika, Ekuador, Gana, Guatemala, Honduras, Pantai Gading, Malaysia, Meksiko, Nigeria, Paraguay, Peru, dan Thailand.
Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) sendiri mengatur tujuh komoditas yang akan diekspor ke Uni Eropa, yaitu daging sapi, coklat, kopi, minyak sawit, karet, kedelai dan kayu, tidak boleh dihasilkan dari kawasan hasil deforestasi dan degradasi hutan. Komoditas juga harus diproduski sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang relevan di negara tempat produksi, dan dilindungi oleh pernyataan uji tuntas dari eksportir dan importir.
Namun demikian negara-negara penghasil sawit seperti Indonesia menilai EUDR berpotensi menimbulkan masalah pada rantai pasokan yang berkelanjutan, harga, dan pilihan konsumen, hingga dampak bagi petani dan negara pengekspor. Dengan potensi dampak tersebut, menurut Airlangga, sejumlah produsen pangan dan komoditas mengharapkan adanya pendekatan yang lebih terukur.
Uni Eropa telah menetapkan UU anti deforestasi (EUDR) sejak 29 Juni 2023 lalu, namun baru akan berlaku mulai Januari 2025. Airlangga mengklaim, tak hanya produsen sawit, asosiasi pertanian yang terkemuka di Uni Eropa, Copa Cogeca, juga telah menyampaikan saran penundaan implementasi kebijakan EUDR. Alasannya, kebijakan itu dinilai tidak memungkinkan untuk dilaksanakan karena waktu penyiapan kerangka kerja yang lebih memadai tidak dapat diselesaikan hingga batas waktu implementasi kebijakan EUDR tersebut.
Airlangga berujar gelombang kekhawatiran juga diutarakan oleh berbagai negara-negara seperti India dan Brazil. Dia juga menilai Uni Eropa melalui kebijakan tersebut telah mengecilkan berbagai upaya dan komitmen Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan yang menyangkut isu perubahan iklim hingga perlindungan biodiversity sesuai dengan kesepakatan, perjanjian, dan konvensi multilateral.
Airlangga menyatakan Indonesia menjadi negara yang terdepan dalam menyerukan protes serius dan ketidaksetujuan kepada Uni Eropa atas kebijakan EUDR. Dia meyakini regulasi tersebut merupakan tindakan diskriminasi terhadap kelapa sawit Indonesia.
Indonesia bersama dengan Malaysia, dan Uni Eropa telah sepakat untuk membentuk Gugus Tugas Ad Hoc (Ad Hoc Joint Task Force) on EUDR guna mengatasi berbagai hal terkait dengan pelaksanaan EUDR yang dihadapi Indonesia dan Malaysia. Gugus tugas tersebut juga dibentuk untuk mengidentifikasi solusi dan penyelesaian yang terbaik ihwal implementasi EUDR.
Pilihan Editor: Kemendag dan KBRI Gelar Pameran Fesyen di Singapura, Total Transaksi Capai Rp 4,2 Miliar