TEMPO.CO, Jakarta - Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas menjelaskan efek pembukaan lahan hutan menjadi perkebunan sawit menyebabkan deforestasi dari hutan alam dan menyebabkan emisi serta hilangnya biodiversitas atau keberagaman hayati.
"Sejak awal memang sawit merupakan salah satu sektor yang mendorong terjadi deforestasi di Indonesia dan bukan hal yang baru," kata Arie saat dihubungi TEMPO melalui pesan singkat pada Kamis, 2 Mei 2024.
Sebelumnya Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau GAPKI mengklaim ekspor ke luar negeri turun, terutama di Eropa karena maraknya kampanye anti deforestasi. Arie menepis, menurutnya klaim itu berlebihan, dia menegaskan memang perkebunan sawit pendorong deforestasi tinggi di Indonesia.
"EUDR (European Union Deforestation-free Regulation atau regulasi bebas deforestasi Uni Eropa) itu baru berlaku sejak tahun 2020 cut off-nya. Artinya, ini belum berlaku karena deforestasi yg dimaksud setelah tahun 2020. Di bawah itu belum berpengaruh. Sementara sawit dalam kawasan hutan sudah diputihkan oleh Omnibus Law," ujarnya,
Arie menjelaskan secara keseluruhan dari 2001 sampai 2019 estimasi karbon yang hilang karena deforestasi yakni terdapat 870.000 hektare hutan promer yang telah dikonversi menjadi sawit di dalam kawasan hutan.
"Total cadangan karbon yang hilang sebanyak 104 juta ton atau setara 382 juta ton emisi CO2," tuturnya.
Dalam konsesi sawit yang teridentifikasi, luas hutan yang terkonversi seluas 278.000 hektare dengan total cadangan karbon yang hilang sebanyak 34,7 juta ton atau setara 127 juta ton emisi karbondioksida. "Konversi hutan paling banyak terjadi di Sumatra (Riau) dan Kalimantan (Kalimantan Tengah)," ujarnya.