“Sedikit lebih tinggi dari rata-rata tarif negara-negara ASEAN (selisih 1,1 persen saja),” ujar Prastowo. “Nah, adakah yang berminat menaikkan tarif pajak penghasilan atau PPh korporasi sebagai salah satu strategi optimalisasi?”
Selanjutnya kelima, Prastowo menjelaskan tarif PPh orang pribadi layer tertinggi di Indonesia berasarannya 35 persen. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan beberapa negara seperti Jepang, Eropa, Amerika Serikat, Australia, China, Korea, Afrika Selatan, bahkan India.
Sedangkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN)/ Pajak Penjualan di Indonesia juga masih lebih rendah dari rata-rata negara G20 (15,9 persen) dan OECD (19,2 persen). Meski melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 sudah disesuaikan menjadi 11 persen.
“Lagi-lagi, masih ada ruang. Apakah ada yang berminat menaikkan tarif? Saya baca kliping 5 tahun lalu, malah beberapa usul penurunan tarif PPh,” kata Prastowo.
Poin keenam, pemerintah mencanangkan kebijakan fiskal berupa belanja perpajakan (tax expenditure). Prastowo menjelaskan hal ini sesuai ilustrasi menanam pohon yang sebelumnya disinggung. Ada beberapa kebijakan pajak berupa belanja perpajakan di antaranya insentif pajak.
Insentif pajak, dia berujar, ditujukan untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga dan melindungi masyarakat serta pelaku usaha berpenghasilan rendah. Sehingga memicu pertumbuhan ekonomi yang diharapkan meningkatkan penerimaan pajak untuk jangka panjang.
Namun, hal itu menimbulkan trade off terhadap tax ratio untuk jangka pendek, di antaranya tarif pajak khusus bagi UMKM. Insentif pajak juga diberikan untuk sektor industri yang tujuannya untuk menarik investasi.
Pada 2022 saja diperkirakam nilai belanja perpajakan mencapai Rp 320 triliun. Angka yang sangat besar, setara 1,63 persen produk domestik bruto atau PDB. “Bagusnya, alokasi terbesar adalah Rp 69 triliun untuk UMKM dan Rp 140 triliun untuk rumah tangga,” kata dia.
Selanjutnya: Ketujuh, Prastowo menjelaskan bahwa insentif perpajakan...