“Pertama-tama bahkan pemerintah memberi insentif/ fasilitas kepada pelaku usaha agar bisnisnya tumbuh dan maju,” ucap dia.
Ibarat menanam pohon, kata Prastowo, pemerintah menggarap lahan, menyiangi rumput, menanam benih, menyiram, dan memupuk. Kelak ketika berbuah, sebagian saja diminta oleh pemerintah untuk dikembalikan ke publik dalam bentuk belanja APBN.
Hebatnya negara demokrasi, bahkan ketika uang pajak dikembalikan ke publik, rakyat sebagai warga negara dan pembayar pajak tetap punya hak politik untuk mengkritik dan mengawasi. Termasuk terlibat dalam penyelenggaraan negara.
Meski sederhana, menurut dia, ilustrasi ini tetap penting untuk memahami semesta perpajakan yang tidak sesederhana hanya memungut pajak. “Memungut dengan kaku-pucat dan seolah berjarak dengan realitas masyarakat,” kata Prastowo.
Ketiga, Prastowo melanjutkan, perdebatan bisanya kerap berhenti di satu isu yakni tax ratio—perbandingan total penerimaan pajak terhadap PDB. Tax ratio Indonesia pada tahun 2021 misalnya, mencapai 10,9 persen, masih lebih rendah dibandingkan dengan negara lain.
Namun, posisi tax ratio tersebut bukan berarti menunjukkan pemerintah berpangku tangan dan bukan pula tanpa sebab. Prastowo juga menunjukkan grafik yang memperlihatkan betapa pendapatan negara, termasuk penerimaan pajak, pasca pandemi menguat dan konsisten tumbuh. “Ini jelas kabar baik!”
Sebelum menjabarkan apa saja yang dilakukan pemerintah, Pratowo juga membandingkan beberapa statistik dengan negara lain untuk memperoleh gambaran utuh dan penilaian yang lebih fair. Gambaran itu dijelaskan pada poin keempat.
Keempat, Prastowo menuturkan mengenai tarif pajak korporasi. Di negara-negara G20, tarif pajak korporasi Indonesia termasuk yang paling rendah (rata-rata 26,5 persen). Sementara, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD (rata-rata 23,57 persen), dan BRICS—kelompok negara berkembang Brasil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan—(rata-rata 26,5 persen).
Selanjutnya: “Sedikit lebih tinggi dari rata-rata..."