TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo tetap mempertahankan kebijakan makroprudensial longgar pada tahun 2024 mendatang. Keputusan tersebut dibuat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian perekonomian global.
“Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, kebijakan makroprudensial longgar akan kami pertahankan tahun 2024,” kata Perry dalam acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2023, di Jakarta, Rabu 29 November 2023.
Perry merincikan, BI akan meningkatkan insentif likuiditas makroprudensial dengan memberikan insentif likuiditas perbankan sebesar Rp159 triliun dengan tambahan sekitar Rp20 triliun.
Langkah tersebut dilakukan guna mendorong pertumbuhan kredit ke sektor-sektor prioritas, seperti perumahan, minerba dan non-minerba, serta pariwisata.
Kemudian, BI juga akan menurunkan rasio penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) untuk Bank Umum Konvensional (BUK) dan Bank Umum Syariah (BUS) mulai Desember 2023. BI juga menetapkan penambahan likuiditas perbankan mencapai Rp81 triliun.
"Penurunan rasio penyangga likuiditas makroprudensial mulai Desember 2023 ini menambah fleksibilitas likuiditas sebesar Rp81 triliun. Untuk itu, kami mohon kepada para perbankan agar menggunakannya untuk menyalurkan kredit dan juga menjaga stabilitas sistem keuangan," ujar Perry.
Lebih lanjut, Perry menyampaikan, surveillance sistemik dilakukan guna menjaga stabilitas sistem keuangan melalui koordinasi dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Adapun kebijakan makroprudensial longgar itu ditetapkan dengan mengacu pada kondisi ekonomi global yang masih dihantui ketidakpastian.
"Fragmentasi geopolitik berdampak pada fragmentasi geoekonomi. Akibatnya, prospek ekonomi global akan meredup pada 2024 sebelum mulai bersinar kembali pada 2025," ujar Perry.
Ia menambahkan, akan terjadi perlambatan ekonomi global sebesar 2,8 persen pada 2024 sebelum meningkat ke 3 persen pada 2025. Indonesia menjadi salah satu negara yang berpotensi terkena dampaknya.
"Indonesia tak terkecuali, perlu kita waspadai dan antisipasi dengan respons kebijakan yang tepat untuk ketahanan dan kebangkitan ekonomi nasional," katanya.
Pilihan editor: Hingga Oktober Jumlah Merchant QRIS 29,6 Juta, Bank Indonesia: 92 Persennya UMKM