6. Penguatan pengawasan PNBP oleh Menkeu
Dalam UU PNBP, ada beberapa hal yang menguatkan posisi Kementerian Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Di dalam pengawasan PNBP, dilakukan oleh dua unit, kementerian/ lembaga itu sendiri oleh Aparat pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Kemenkeu yang dalam hal ini di dalam PMK lama hanya dilakukan oleh DJA.
“Di sini kita bersama APIP Kemenkeu untuk melaksanaan pengawasan PNBP di kementerian/ lembaga yang lain. Tentunya kita tetap berkoordinasi dengan APIP kementerian/ lembaga,” kata Wawan.
Dia pun mencontohkan, misalnya ada masalah perkebunan sawit yang menggunaka lahan hutan, kemudian ada pengawasan di dalam proses pengajuan hak guna usaha suatu lahan. Rupanya, kata dia, ada ketidakcocokan luasan lahan produksi yang dilaporkan di pajak.
“Kami on the way itu. Yang mungkin nanti hasilnya adalah rekomendasi kami Kemenkeu untuk perubahan SOP maupun dasar hukum di ATR BPN. Di sisi lain di pengawasan kami juga memberikan penguatan kepada APIP kementerian/ lembafa. Sedangkan di pemeriksaan tetap dilakukan oleh BPKP,” ucap dia.
7. Pengentian layanan dan implementasi automatic blocking system (ABS)
Di dalam PMK dulu, ABS belum merambah kepada siapa yang melakukan atau siapa yang berhak untuk meminta ABS. Jika berbicara piutang terutama piutang PNBP memiliki pola pengelolaannya. Kementerian/ lembaga harus mengupayakan menagih, jika tidak bisa maka diserahkan KPKNL.
“Nah pada PMK yang dulu permintaan ABS hanya boleh oleh kementerian/ lembaga. Kalau sudah diserahkan, maka kami belum punya dasar hukum bagi KPKNL untuk melakukan permintaan ABS,” ujar Wawan.
Dia juga mencotohkan soal ABS ini di sektor mineral dan batu bara atau monerba, di mana ada suatu perusahaan yang tidak bayar royalti. “Tidak bayarnya ini bukan di awal pengapalan, saat pengapalan itu pengusaha atau eksportir sudah membayar duluan. Sudah membayar terlebih dahulu untuk royalti yang asesmen,” tutur dia.
Berjalannya waktu, maka ada langkah verifikasi yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, misalnya namanya perusagaannya PT Batu Bara Timur Jaya sudah bayar royalti di 6 bulan ini senilai Rp 531 miliar. Namun, pada Agustus di-review, di verifikasi oleh ESDM kurang bayar senilai Rp 40 miliar. Sedangkan ditagih tidak mau bayar.
Namun, karena aturan untuk pengapalan dan kemudahan berusaha tentunya maka setiap ekspor di bulan berikutnya sepanjang membayar asesmen yang awal tadi, itu masih diperbolehkan. Sebagai penguatan, maka untuk memaksa PT Batu Bara Timur Jaya, jika tidak membayar Rp 40 miliar, maka tidak akan bisa membayar royalti next ekspor.
“Kemudian layanannya ditutup, dia tidak bisa bayar karena tidak punya billing, simpulnya kita tutup. Kita paksa mereka bayar dulu. Nah ini namanya ABS,” kata Wawan.
Jika perusahaan sudah membayar, lalu simpulnya dibuka dan bisa membayar royalti, maka bisa pula melakukan pengapalan. Sehingga, ini akan membuat optimalisasi penerimaan negara.
“Itu kenapa kita kenalkan ABS, karena kementerian/ lembaga itu tidak melakukan apa-apa sebetulnya. Tapi tetap melakukan pelaporan ke kita, PT ini perlu dilakukan ABS simpulnya kita tutup,” ucap Wawan.
Pilihan Editor: Aset Tommy Soeharto Tak Kunjung Laku Dilelang, Begini Penjelasan Sri Mulyani dan Ketua Satgas BLBI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini