Kedua, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menolak permohonan dispensasi impor KRL bekas karena fokus pemerintah adalah pada kendaraan produksi dalam negeri dan substitusi impor melalui Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN).
"Nah yang ketiga, KRL bukan baru yang diimpor dari Jepang tidak memenuhi kriteria sebagai barang modal bukan baru yang dapat diimpor sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Perdagangan yang mengatur kebijakan dan pengaturan impor," kata Seto.
Dalam regulasi tersebut, barang bekas yang bisa diimpor adalah yang belum bisa dipenuhi dalam negeri. "Jadi tadi sudah disebutkan, itu (impor KRL bekas) bisa dilakukan kalau belum bisa diproduksi di dalam negeri," tutur Seto.
Selain itu, BPKP juga mengungkap alasan teknis dalam laporannya. Salah satunya, ada beberapa unit sarana yang masih bisa dioptimalkan penggunaannya.
BPKP menyebut, jumlah KRL yang beroperasi saat ini 1.114 unit, tidak termasuk 48 unit yang aktiva tetap diberhentikan dari operasi dan 36 unit yang dikonversi sementara. Sedangkan overload memang terjadi pada peak hour.
Namun secara keseluruhan, okupansi pada 2023 diproyeksikan mencapai 62,75 persen. "(Okupansi) 2024 diperkirakan masih 79 persen dan 2025 sebanyak 83 persen. Ini data dari BPKP," ucap Seto.
Seto memaparkan, BPKP juga membandingkan pada 2019 jumlah armada yang siap guna adalah 1.078 unit yang mampu melayani 336,3 juta penumpang. Sedangkan di 2023, lanjut dia, jumlah penumpang diperkirakan 273,6 juta penumpang dengan armada 1.114 unit.
"Jadi di 2023 armadanya lebih banyak, tapi estimasi penumpangnya tetap jauh lebih sedikit dibandingkan 2019 yang jumlah armadanya lebih sedikit," ungkap Seto.
Lebih lanjut, dia mengemukakan rata-rata jumlah penumpang sekarang sekitar 800 ribu penumpang per hari. Tapi pada peak hour bisa mencapai di atas 900 ribu per hari. "Nah, ini masih lebih kecil dibandingkan 2019 dimana rata-rata jumlah penumpangnya adalah 1,1 juta," ucapnya.
Ia lalu menyinggung temuan BPKP tentang estimasi biaya impor kereta bekas. Dia menyebut, kewajaran biaya handling dan transportasi dari Jepang ke Indonesia yang diajukan PT KCI tidak dapat diyakini.
"Karena perhitungannya tidak berdasarkan survei harga, melainkan hanya berdasarkan KRL bukan baru tahun 2018 ditambah 15 persen," ujar Seto.
Hasil klarifikasi dengan Pelindo, kata dia, kontainer yang tersedia hanya 20 kaki dan 40 kaki sehingga pengangkutan dan pengiriman KRL harus menggunakan kapal kargo sendiri. "Ini tentu saja bisa menyebabkan penambahan biaya yang harus diestimasikan dengan akurat," tuturnya.
Pilihan Editor: KRL Makin Padat, Anggota DPR: Bisa Menjadi Bom Waktu
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.