Bahaya Shadow Banking, Dapat Mengganggu Stabilitas Sistem Keuangan
Selama investor mampu memahami risiko dari aktivitas pemanfaatan dana nasabah, maka tidak ada perkara yang ditimbulkan. Masalah akan muncul apabila investor menarik aset jangka panjang dan besar secara sekaligus. Pada akhirnya, lembaga keuangan yang terjebak shadow banking terpaksa mengurangi nilai aset dalam pembukuan mereka.
Memperkirakan besarnya ukuran sistem pada perbankan bayangan tidaklah mudah. Mengingat para pelaku tidak berorientasi kepada kebijakan yang diterbitkan pemerintah.
Lembaga yang menganut shadow banking paling banyak ditemui di Amerika Serikat dengan total sebesar 44%. Tidak berbeda jauh, di Indonesia peristiwa shadow banking masih marak.
Menurut anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kemal Azis Stamboel pernah menyatakan bahwa pemerintah mendukung kebijakan untuk memperkuat dan mencegah shadow banking.
“Praktik shadow banking harus diatur dan disupervisi dengan ketat. Hal ini menjadi pengalaman berharga”, kata Kemal dalam keterangan tertulis Selasa, 17 Januari 2012.
Sejalan dengan hal tersebut, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa BI terus mencermati perkembangan digital dalam industri keuangan seperti peer to peer lending.
Bahaya shadow banking dijelaskan dalam sebuah kajian McKinsey & Company pada Agustus 2019. Perusahaan konsultan global tersebut menganalisis sejumlah korporasi di beberapa negara Asia, termasuk Indonesia.
Disebutkan bahwa semakin meningkatnya kredit jangka panjang dengan interest coverage ratio (ICR) di bawah 1,5. Hasilnya banyak lembaga keuangan berisiko gagal bayar (default).
Di sisi lain, pembiayaan berpusat ke lembaga perbankan dan non bank akibat lemahnya pasar modal di beberapa negara. Imbasnya, pembiayaan dari fintech terus meroket.
Apalagi jika gagal bayar, perbankan bayangan akan sibuk mencari pinjaman. Oleh karena itu, memahami bahaya dan apa itu shadow banking ternyata sangat berisiko memicu krisis baru.
Adapun kasus Indosurya ini bermula dari penghimpunan dana yang diduga dilakukan secara ilegal menggunakan badan hukum KSP Indosurya Inti/Cipta. Praktik tersebut dilakukan sejak November 2012 hingga Februari 2022.
Kasus ini diputuskan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang menyatakan bahwa dua petinggi KSP Indosurya, Henry Surya dan June Indria, divonis bebas. Namun, Kejaksaan Agung kemudian mengajukan banding karena hakim dinilai keliru dalam memutuskan kasus yang merugikan 23 ribu orang dengan kerugian mencapai 106 triliun rupiah.
RIRI RAHAYU | MELYNDA DWI PUSPITA | ANTARA
Pilihan Editor: Teten Masduki Sebut KSP Indosurya Lakukan Shadow Banking, Apa Itu?