TEMPO.CO, Jakarta -Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo kembali membeberkan ihwal Dana Bagi Hasil (DBH) Kabupaten Kepulauan Meranti. Hal itu berkaitan dengan tudingan Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil yang menilai tidak ada penjelasan rinci soal pemberian DBH dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan nilainya tergolong kecil. Dia bahkan menyebut Kemenkeu diisi oleh setan dan iblis.
"Supaya adil, proporsional dan transparan, kami bahas tuntas Dana Bagi Hasil," kata Yustinus melalui akun Twitter pribadinya pada Kamis, 15 Desember 2022.
Ia menyebutkan alokasi belanja pusat, yakni Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), belanja kementerian dan lembaga, serta subsidi untuk Kabupaten Kepulauan Meranti jauh lebih besar dibandingkan pendapatan negara dari Kabupaten Kepulauan Meranti. "Ini esensi pemerataan," kata dia.
Yustinus menunjukan total belanja negara untuk Kabupaten Kepulauan Meranti sebesar Rp 1,1 trilun. Angka itu meliputi Rp 124,64 miliar dana subsidi atau kompensasi, Rp 118 miliar untuk belanja kementerian dan lembaga, dan Rp 861,2 miliar untuk dana transfer ke daerah atau TKD.
Sementara total penerimaan negara dari Kabupaten Kepulauan Meranti sebesar Rp 453,97 miliar. Angka itu meliputi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 323,112 miliar dan penerimaan perpajakan sebesar Rp 130,858 miliar. Sehingga selisih belanja negara dan penerimaan negara dari Kabupaten Kepulauan Meranti sebesar Rp 649,921 miliar.
Artinya, menurut Yustinus, jika seluruh pendapatan yang diperoleh pemerintah pusat dikembalikan ke Kabupaten Kepulauan Meranti pun nilainya tetap jauh lebih kecil dibandingkan alokasi pemerintah pusat untuk daerah tersebut. "Bukankah ini justru menunjukkan dukungan pemerintah pusat yang sangat kuat untuk Daerah. Maka baik kalau kita bahas tuntas," ucapnya .
Menurut dia, hal itu lah yang menjadi kegelisahan pemerintah pusat ketika mendapati fakta bahwa otonomi daerah membutuhkan penguatan. Salah satu strategi yang dilakukan Kemenkeu adalah membuat kebijakan fiskal yang berpihak pada penurunan ketimpangan atau kemiskinan. Selain itu, juga penguatan kapasitas daerah melalui harmonisasi belanja yang efektif. Alhasil, lahirlah Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).