Selain itu, Bhima menyebutkan, program-program yang berkaitan dengan transisi energi ataupun untuk konservasi lingkungan hidup juga harus didorong. "Baik untuk negara berkembang maupun negara miskin," tuturnya.
Sebab jika hanya sekedar restrukturisasi atau penangguhan pembayaran utang, beban biaya pembayaran utangnya masih akan tetap tinggi. Apalagi di tengah situasi naiknya tingkat suku bunga secara global.
Pembiayaan juga dibutuhkan lebih besar lagi untuk penanganan pemulihan ekonomi di banyak negara, terutama negara berkembang. "Jadi saran saya, selain debt for climate atau penghapusan utang untuk lingkungan, DSSI seharusnya diperluas juga ke kategori negara berkembang," ucap Bhima.
Adapun Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Wempi Saputra sebelumnya menyatakan upaya Presidensi G20 Indonesia dalam mendorong penghapusan utang bagi negara berkembang dan miskin bertujuan untuk mempercepat pemulihan ekonomi global khususnya bagi negara miskin.
Sebab, total utang negara-negara miskin kini sudah sangat besar menembus US$ 12,9 miliar atau sekitar Rp 200,4 triliun akibat pandemi Covid-19. Oleh karena itu, Indonesia sebagai Presidensi G20 harus menjadi fasilitator bagi negara-negara miskin agar bisa mendapat solusi terhadap pembayaran utang mereka.
Baca juga: Utang Luar Negeri Turun jadi USD 394, 6 MIliar, BI: Aman dan Terkendali
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.