TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menanggapi soal langkah pemerintah Indonesia dalam Presidensi G20 dalam mendorong restrukturisasi utang negara miskin dan negara berkembang.
Ia menyatakan, langkah pemerintah mendorong agar tercipta restrukturisasi utang terhadap kelompok yang berhak menerima DSSI (debt service suspension initiative) atau restrukturisasi pinjaman sebaiknya juga ditujukan untuk membantu Indonesia.
Sebab, menurut dia, meski rasio utang Indonesia masih relatif lebih rendah saat ini, ada risiko bunga utang naik pada tahun depan. Bahkan, dalam hitungannya, beban bunga utang Indonesia akan setara 20 persen dari total belanja pemerintah pusat.
Baca: Presidensi G20 Indonesia Upayakan Dorong Utang Negara Miskin USD 12,9 Miliar Dihapus, Caranya?
"Ke depan, kata pembiayaan utang akan terus meningkat," ujar Bhima saat dihubungi pada Rabu, 16 November 2022.
Bhima menjelaskan, dalam konteks Indonesia, 88 persen dari total utang berbentuk surat berharga negara (SBN) atau surat utang negara yang nilai pinjamannya semakin mengecil.
Oleh karena itu, pada KTT G20, Indonesia seharusnya bisa mendorong kreditur swasta atau kreditur yang berkaitan dengan perbankan maupun lembaga keuangan agar terlibat dengan aktif di dalam DSSI.
Selain itu, Bhima menyarankan agar Indonesia bukan hanya mendorong soal restrukturisasi utang melainkan penghapusan utang. Untuk program debt for climate, misalnya, Indonesia bisa mendapatkan dana, tetapi dana itu digunakan untuk penghapusan utang.
Selanjutnya: Program berkaitan dengan transisi energi juga...