TEMPO.CO, Jakarta - Dua kali sidang gugatan terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Menteri Perdagangan soal kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng menghadirkan tiga orang saksi ahli dari pihak penggugat—Sawit Watch bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil. Sidang tersebut digelar pada 13 dan 20 Oktober 2022 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta Timur.
Ahli hukum administrasi negara yang juga dosen di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Riawan Tjandra, menjadi saksi ahli dari pihak penggugat pada 13 Oktober 2022. Dia mengatakan dalam konteks menyediakan pasokan minyak goreng, ini adalah salah satu tanggung jawab atau kewajiban pemerintah.
Menurut Riawan, kewajiban ini masuk dalam klasifikasi sebagai tindakan faktual karena tujuan melaksanakan fungsi pelayanan publik seluas-luasnya kepada masyarakat. Tindakan faktual yang dilakukan oleh administrasi negara tidak hanya terbatas pada tindakan aktif saja, tapi juga perbuatan pasif (mendiamkan sesuatu hal).
“Tindakan faktual pasif juga dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum pemerintah. Karena setiap tindakan pemerintah baik pasif maupun pasif selalu diasumsikan melekat kewajiban untuk mematuhi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik,” ujar Riawan lewat keterangan tertulis pada Ahad, 23 Oktober 2022.
Dalam teori hukum administrasi negara, kata dia, tindakan faktual, dapat diklasifikasikan meliputi tindakan faktual bersifat aktif dan tindakan faktual bersifat pasif. Keduanya dapat menimbulkan akibat berupa perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pemerintah sebagai penguasa (illicita perimperium).
Riawan menuturkan hal itu dapat dikualifikasi berdasarkan fakta-fakta dalam peristiwa kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng yang terjadi hampir di seluruh Indonesia. “Ini secara yuridis bertentangan dengan kewajiban hukum Menteri Perdagangan dan Presiden untuk memenuhi hak-hak masyarakat Indonesia atas kebutuhan pokok in casu minyak goreng,” kata Riawan.
Sementara, Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri memperkuat dari sudut pandang ekonomi. Dia menjelaskan tugas dari pemerintah adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat dengan harga terjangkau dan tersedia.
Dalam kasus langka dan tingginya harga minyak goreng, Faisal berujar, pemerintah tidak memetakan permasalahan ini dengan baik dan hanya menyatakan penyebab hal ini terjadi adalah perusahaan banyak melakukan ekspor. “Padahal secara angka dan data jumlah ekspor justru menurun pada tahun 2021,” tutur Faisal yang menjadi saksi ahli pada 20 Oktober 2022.
Faisal menilai kebijakan pemerintah terkait minyak goreng ini adalah yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia, karena semua pihak dirugikan. Kebijakan dua harga untuk biodiesel juga menjadi biang kerok, dimana barang (biodiesel) yang sama dan identik namun harganya berbeda (ekspor dan domestik).
“Terkait alokasi CPO dalam negeri, saya melihat adanya persaingan antara CPO untuk Pangan dan CPO untuk Biodiesel. Pemerintah mengutamakan CPO untuk energi dibandingkan pangan. Belum ada kebijakan pemerintah untuk alokasi CPO ini,” ucap Faisal.
Selanjutnya: Tiga Sumber Masalah Harga dan Pasokan Minyak Goreng