TEMPO.CO, Nusa Dua - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati hari ini membuka pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara anggota G20 ketiga di Nusa Dua, Bali. Dalam sambutan pembukaannya, Sri Mulyani menyoroti tiga masalah yang menjadi penyebab krisis global saat ini.
"Saat ini kita semua terancam oleh adanya perang Rusia-Ukraina, kenaikan harga komoditas yang drastis, dan peningkatan inflasi global," kata Sri Mulyani. Perang Rusia-Ukraina, kata Sri Mulyani, meningkatkan risiko krisis pangan ketika dunia baru saja memulai pemulihan dari pandemi Covid-19.
Peningkatan harga pangan membuat jutaan orang terancam. World Food Programe melaporkan, jumlah orang yang akan terdampak krisis pangan akan meningkat dua kali lipat dari kondisi pada 2019. "Dari 135 juta orang menjadi 276 juta orang. Maka perlu ada mekanisme pembiayaan untuk menyelamatkan masyarakat, serta perlu adanya kebijakan makroekonomi yang baik untuk melindungi negara dari krisis," ujar dia.
Berbarengan dengan itu, dunia juga menghadapi kenaikan harga energi ekstrem. Harga minyak mentah dunia naik 350 persen dalam periode dua tahun (April 2022-April 2022).
"Kondisi semacam ini terakhir kali terjadi pada 1970-an. Akibatnya kelangkaan BBM terjadi di mana-mana." Jika hal ini terjadi secara berkepanjangan, kata Sri Mulyani, dampaknya akan sangat luas, yakni krisis sosial dan politik. "Dan ini sudah kita saksikan bersama-sama di sejumlah negara."
Laju keaikan inflasi global juga lebih cepat ketimbang kesiapan negara-negara di dunia mengeluarkan kebijakan moneter untuk mengantisipasinya. Di berbagai negara maju dan berkembang, bank-bank sentral terus menaikkan suku buunga. "Negara berkembang harus ikut menyesuaikan kondisi ini karena mereka terancam keluarnya modal asing dan kenaikan biaya."
Ketiga ancaman tersebut, menurut Sri Mulyani, berimplikasi pada meningkatnya kerentanan posisi utang banyak negara, tak hanya negara berpenghasilan rendah dan menengah. "Negara berpenghasilan tinggi pun ikut terancam." Sebanyak 60 persen negara berpenghasilan menengah saat ini sudab berada di tubir kesulitan pembayaran utang. Lusinan negara berkembang bahkan mungkin sudah tak mampu membayar utang, setidaknya hingga tahun depan.
"Ini adalah aneka isu yang harus kita selesaikan bersama, oleh menteri keuangan dan gubernur bank sentral, serta organisasi internasional," kata Sri Mulyani. Ia mengingatkan, bahwa sejarang menunjukkan negara-negara anggota G20 telah terbukti mampu menghadapi berbagai krisis.
Pada 2008-2009, ketika terjadi krisis finansial global yang mengancam perekonomian, G20 hadir melakukan aksi nyata memastikan stabilitas finansial global. "Lalu, pada 2020-2021, ketika Covid-19 meluas, G20 juga hadir membantu negara-negara yang kesulitan, memastikan vaksinasi dilakukan secara luas, serta adanya dukungan kebijakan untuk masyarakat rentan dan kalangan usaha kecil," ujar Sri Mulyani.
Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani juga menyampaikan apresiasi kepada negara-negara yang mendukung agenda G20 di bawah presidensi Indonesia. Salah satunya adalah pembentukan pengelolaan dana krisis (financial intermediary fund/FIF) untk menghadapi potensi pandemi yang dikelola Bank Dunia. "Kita sudah mencatatkan komitmen seniali US $ 1 miliar untuk pembentukan FIF tersebut."
Baca Juga: Terpopuler Bisnis: Sri Mulyani Kritik Sistem Pajak Global, J Trust Bidik Rp 1,27 T dari Rights Issue
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.