TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperkirakan fluktuasi harga berbagai komoditas akibat invasi Rusia terhadap Ukraina berlanjut sampai akhir semester I 2022. Konflik geopolitik ini menyebabkan sejumlah harga acuan komoditas—seperti minyak mentah dunia—melambung.
“Apalagi akibat sanksi embargo ekonomi, harga-harga komoditas akan semakin mahal. Jadi kenaikannya, termasuk untuk harga minyak dunia, terus terjadi,” ujar Bhima saat dihubungi pada Minggu, 27 Februari 2022.
Harga minyak dunia bergejolak dalam beberapa waktu terakhir. Pekan lalu, harga acuan komoditas melampaui level tertinggi di atas US$ 100 per barel. Namun kemudian harga kembali anjlok. Harga acuan Brent untuk pengiriman April, misalnya, anjlok US$ 1,15 atau 1,2 persen ke posisi US$ 97,93 per barel. Sedangkan untuk kontrak Mei, harga acuan menyusut menjadi US$ 94,12 per barel.
Harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat untuk pengiriman Maret turut turun US$ 1,22 atau 1,3 persen ke level US$ 91,59 per barel. Padahal harga minyak dunia itu sempat menembus rekor tertinggi di posisi US$ 95,64.
Di saat harga minyak dunia bergejolak, Bhima mengatakan komoditas pangan dan produk untuk pertanian ikut terganggu. Tersebab Rusia merupakan produsen gandum dan pupuk, kedua produk itu mengalami kenaikan harga.
“Harapan bahwa harga pangan stabil karena pasokan meningkat tampaknya tidak terjadi. Harga pangan akan naik sampai ekskalasi konflik berakhir,” tutur Bhima. Tak hanya dari sisi harga, operasi militer Rusia terhadap Ukraina membuat rantai pasok komoditas tersendat.
Barang-barang dari Rusia ke negara lain, misalnya, tidak akan didistribusikan secara langsung. Bhima melihat ada kemungkinan pengiriman barang impor dari Rusia lebih dulu melalui negara lain akibat adanya sanksi embargo ekonomi.“Ini membuat Indonesia kalau membeli barang-barang impor akan diputar ke negara lainnya. Misalnya dari rusia ke Cina, baru ke Indonesia,” ucap Bhima.