Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan APBN 2021 telah bekerja keras dengan peningkatan realisasi belanja negara. Adapun, APBN 2021 juga diklaim sangat responsif memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam bentuk dukungan penanganan kesehatan, dan perlindungan sosial.
Menteri Keuangan Sri Mulyani tiba untuk mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 10 Juni 2021. Rapat tersebut membahas pagu indikatif Kementerian Keuangan dalam RAPBN 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
“APBN menjadi luar biasa penting mendorong ekonomi dan ini salah satunya ditunjukkan dengan belanja pemerintah yang menjadi motor penggerak pada semester I/2021,” kata dia.
Kendati demikian, penambahan alokasi anggaran untuk perlindungan sosial ini meningkatkan risiko penyalahgunaan, lemahnya pengendalian internal, serta ketidakpatuhan. Pasalnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya cacat tata kelola bantuan sosial dalam APBN 2020. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020, BPK mencatat temuan total dari permasalahan belanja bantuan sosial pada tahun lalu mencapai Rp 2,47 triliun.
Secara terperinci, belanja bantuan sosial yang belum disalurkan kepada yang berhak mencapai Rp 166,17 miliar, kelebihan belanja bantuan sosial belum disetor ke kas negara Rp 8,11 miliar, serta dana adanya bantuan sosial yang belum ada pertanggungjawaban senilai Rp 672 juta.
Selain itu, kurangnya volume atau kelebihan pembayaran atas penggunaan dana bantuan sosial senilai Rp 365,15 juta, duplikasi penyaluran dana bantuan sosial senilai Rp 2,94 miliar, penggunaan dana tidak tertib sebesar Rp 744,89 miliar, dana mengendap di rekening penampung mencapai Rp 20,49 miliar, dan permasalahan penyaluran lainnya yang sebesar Rp1,53 triliun.
Data itu masih belum mencakup permasalahan pada kluster perlindungan sosial yang ditemukan pada Kementerian Sosial, di mana pelanggaran total mencapai Rp 5,96 triliun.