TEMPO.CO, Jakarta - Maraknya perusahaan yang menawarkan pinjaman online (pinjol) dengan berbagai kemudahan mengaksesnya menjadi daya tarik tersendiri di masa pandemi, khususnya bagi masyarakat yang tengah kesulitan finansial. Meski begitu, masyarakat diimbau untuk tetap waspada karena tak sedikit pinjol ilegal dan praktiknya kian meresahkan belakangan ini.
Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) sekaligus Kepala Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK Tongam L. Tobing menyebutkan ada dua jenis kelompok masyarakat yang berkasus dengan pinjol.
Pertama, yang tidak mengetahui bahwa platform tersebut pinjol ilegal. Kedua, kelompok masyarakat yang sebenarnya mengetahui, tetapi tetap mengakses pinjaman ilegal tersebut dengan alasan terhimpit ekonomi.
"Dari sisi pelaku kami terus berantas, tapi dari sisi peminjam kami juga jalankan edukasi," kata Tongam, dalam diskusi virtual, Senin, 21 Juni 2021. "Karena saya lihat ada tiga kesalahan besar yang dilakukan masyarakat sampai akhirnya terjerat pinjol."
Pertama, mereka yang asal akses dan tidak melakukan cross-check terhadap daftar fintech peer-to-peer (P2P) lending resmi yang berizin atau terdaftar dari laman resmi OJK. Kesalahan kedua, yaitu masyarakat yang tidak cermat, sehingga mengizinkan adanya akses data pribadi dan kontak di telepon selular miliknya, ketika mengakses website atau aplikasi pinjol.
"Ketiga, kesalahan paling besar itu biasanya sistem gali lubang tutup lubang. Masyarakat kita meminjam untuk menutup pinjaman lama," kata Tongam.
Ia lalu mencontohkan guru honorer di Semarang yang terjerat oleh 114 pinjaman online. "Harusnya pada pinjaman ketiga atau keempat itu setop. Ada lagi masyarakat yang sampai 141 pinjol," ucapnya.