Adapun Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menyebutkan bahwa sebenarnya edukasi terkait literasi digital juga diperlukan. Sebab, tak jarang masyarakat yang terjebak hanya dalam sekali klik lewat penawaran via pesan pribadi.
Piter menceritakan, penawaran hanya sekali klik itu bisa langsung membuat data pribadi langsung disedot. Selain itu, apabila masyarakat tergiur melakukan pinjaman, tak jarang beberapa pinjol berkomplot memaksa korban untuk gali lubang tutup lubang, sampai utang korban menggunung.
"Mereka terbebani oleh utang yang sangat banyak, padahal mereka klik hanya sekali," katanya. "Jadi bukan soal fintech-nya saja yang salah, tapi bentuk pemerasan. Karena sekali mereka masuk, bisa tersangkut ke praktik-praktik lainnya."
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono menyebutkan bahwa praktik-praktik pemerasan, pencurian data, dan penagihan tak beretika merupakan masalah utama dari pinjol.
Ia lalu mencontohkan salah satu platform bertajuk 'Rp Cepat' yang tengah berproses di Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, telah menghasilkan 5 tersangka dan 2 DPO warga negara asing asal Cina. Korban mengaku sebelumnya terpaksa mengajukan pinjaman Rp 1,25 juta.
Dari jumlah pinjaman yang diajukan itu ternyata hanya disetujui Rp 500.000, tetapi cair hanya Rp 295.000. "Bahaya pinjol yang mengingkari perjanjian. Korban bercerita tenor yang dijanjikan 91 sampai 100 hari, tapi kenyataannya hari ke-10 sudah ada penagihan. Perjanjian bunga tadinya 7 persen, ternyata jadi 41 persen. Inilah bahayanya pinjol," ucap Rusdi.
BISNIS
Baca: Cerita Nasabah Tak Ajukan Kredit Tapi Dapat Transfer dari Pinjaman Online